Kebahagiaan seorang dosen adalah menyaksikan mahasiswanya berhasil menjadi manusia mandiri yang mampu menenun dunianya sendiri. Hal ini diungkapkan Budi Widianarko dalam acara Academic Recharging untuk para dosen Unika Soegijapranata
Pengajar pada Program Magister Lingkungan dan Perkotaan ini menjadi pembicara pertama dalam seminar pedagogi dan andragogi inspiratif yang berjudul “The Joy of Learning”. Ia juga menjelaskan bahwa tantangan para dosen adalah mewujudkan kesukacitaan dalam pembelajaran. “Kita punya ribuan mahasiswa, tapi kalau setiap pagi kita datang dengan cemberut, bagaimana sukacita akan terjadi di kelas?”
“Untuk mewujudkannya, sebagai dosen kita bisa menggunakan berbagai metode pengajaran,” lanjutnya, “Namun bukan hanya metode yang menentukan, melainkan hati kita-sebagai tempat meleburnya intelek, emosi, spirit dan kemauan seorang manusia.”
Tantangan seorang dosen dewasa ini juga semakin kompleks. Mahasiswa di zaman ini lebih lekat dengan gadget. Mereka tidak akan kesulitan mencari referensi. “Sayangnya tak banyak mahasiswa yang bisa menangkap isi dan maknanya. Inilah yang disebut dengan paradox in plenty,” jelasnya.
Rektor yang juga menjadi dosen di fakultas teknologi pertanian ini kemudian memberikan solusi, “Kita tetap harus membaca buku yang benar-benar buku. Rasakan kertasnya dan cium baunya.”
Menjadi Dosen Bukan Sekedar Pekerjaan
Pembicara kedua dalam seminar ini juga dirasa memberi energi positif bagi para dosen.
“Apa yang Anda cari dengan menjadi dosen?” tanyanya ketika memulai menyampaikan materi.
“Kalau ingin mencari uang, jelas sedikit! Kalau mau cari uang banyak ya di bank saja sana.” tutur Hani Handoko. Kalimat ini langsung disambut gelak tawa para peserta.
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada ini kemudian menceritakan pengalaman pribadinya. “Setelah lulus S1 waktu itu saya sebenarnya diterima kerja di Bank Indonesia. Tapi ada dosen yang menyuruh saya menjadi dosen,” kisahnya.
Doktor yang karib disapa Hani ini menyangsikan usulan dosen tersebut,”Ah apa bisa?”
Namun ia kemudian merefleksikan bahwa profesi dosen yang saat ini dijalani bukanlah pilihannya, “Saya memaknai bahwa profesi dosen yang saya jalani saat ini bukanlah pilihan saya. Pilihan saya waktu itu ya menjadi pegawai bank. Tapi Tuhanlah yang memanggil. Maka bagi saya menjadi dosen adalah panggilan.”
“Karena ini (menjadi dosen) adalah kehendak Allah, maka saya harus menjalani dengan penuh kasih dan sukacita,” tuturnya.
Namun jangan dibayangkan pilihan menjadi dosen ia jalani dengan mudah. “Awalnya saya sering diteror. Bentuknya macem-macem. Ada yang sampai saat ini masih saya simpan,” tuturnya, “Untunglah saya dulu aktif di Misa Kampus. Saya punya banyak kenalan romo. Teror tadi mental semua.”
Memang acara yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) ini berjalan dengan cair dan penuh canda tawa. Ke depan, LP3 mempunyai beberapa agenda untuk pengembangan kualitas pendidikan semacam ini. “LP3 merupakan tonggak cikal bakal pengembangan pembelajaran. Untuk itu kami sudah mengagendakan ada retret teaching capacity building, workshop program base learning, dan ada acara besar yang kami namai knowledge festival,” tutur Augustina Sulastri, ketua LP3 ketika memberi sambutan untuk membuka acara ini. (teodomina)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi