Menyematkan pariwisata sebagai tujuan dari konservasi pada kawasan bangunan cagar budaya/bangunan bersejarah tidaklah tepat. Demikian pendapat Pemerhati cagar budaya dari Unika Soegijapranata Semarang, Tjahjono Rahardjo baru-baru ini. Lebih lanjut Tjahjono menegaskan, revitalisasi pada bagunan bersejarah memang penting dilakukan namun, perlu mencermati mengenai tujuan dari revitalisasi.
Sebagimana telah diberitakan //www.suaramerdeka.com/semarang-raya/pemerhati-cagar-budaya-revitalisasi-perlu-kedepankan-kaidah-konservasi, Tjahjono menilai, pentingnya pendekatan kaidah konservasi dalam proses revitalisasi Kota Semarang Lama yang meliputi Kota Lama, Kampung Melayu, Kauman dan Pecinan.
Tjahjono mengungkapkan , hal yang perlu dicermati, melakukan konservasi jangan demi tujuan pariwisata. Kalaupun nantinya menjadi daya tarik wisata, anggap saja bonusnya. UNESCO tidak menyebut sektor pariwisata, karena dia bukan lembaga yang bergerak untuk menjadi daya tarik wisata.
Terkait revitalisasi, pemerintah perlu berkaca pada pengalaman dari Kota Lama. Ia memandang revitalisasi di kawasan tersebut tidak memiliki tujuan yang jelas. Kalau narasi resmi yang dikembangkan adalah sebagai suatu warisan budaya yang tercatat di UNESCO, maka justru membuat tujuan revitalisasi kota lama semakin jauh. Ia mencontohkan, banyaknya tambahan ornamen di kawasan Kota Lama justru menghilangkan identitas asli yang melekat di kawasan tersebut.
“Otentik itu sesuatu yang asli dan terkait dengan kawasan itu. Ketika ditambahi aksesoris/ornamen menjadi tidak otentik lagi. Sesuatu yang tidak ada sejarahnya, namun tiba-tiba muncul di situ,” ucapnya, Sebut saja penambahan lampu dengan desain retro dianggap meniru konsep yang ada di London.Meskipun secara konsep konservasi memunculkan barang baru tidak menjadi suatu persoalan tetapi itu jauh dari aslinya.
“Sebetulnya tidak masalah memunculkan barang baru, tetapi jangan meniru atau ‘dikuno-kunokan’. Alternatifnya dengan memberikan lampu yang ditempatkan tersembunyi namun menyorot pada bangunan. Sehingga gedung-gedung di sana nampak terang, sedangkan area jalan masih bisa mendapat pantulan cahaya,” jelasnya.
Pada sisi lain, ia melihat Kota Semarang sudah erat dengan nilai-nilai pluralitas. Jika melihat ke belakang kota pesisir ini sejak dulu dikenal multikultural (beragam budaya) dan kosmopolitan. Kedatangan Belanda membuat kota ini cenderung memiliki sekat atau terkotak-kotak.
Hal itu bisa dilihat dari munculnya sejumlah kawasan yang identik dengan etnis tertentu, sebut saja kawasan pecinan, kauman, dan kampung melayu.Pemisahan kawasan itu dianggap sebagai upaya dan siasat Belanda untuk lebih mudah dalam mengendalikan.
►https://pekalongan.suaramerdeka.com/budaya/pr-1811390962/pemerhati-cagar-budaya-dari-unika-sugiyapranoto-tidak-tepat-sematkan-pariwisata-sebagai-tujuan-konservasi
berita serupa
https://www.suaramerdeka.com/semarang-raya/pr-041388051/pemerhati-cagar-budaya-revitalisasi-perlu-kedepankan-kaidah-konservasi