TERKAIT dengan isu penggantian Premium dengan Pertalite, dari sisi ekonomi perlu dipahami bahwa saat ini Indonesia mengimpor 60 persen Premium (10 juta barel) dari luar negeri setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan BBM, sedangkan 40 persen sisanya diproduksi sendiri.
Mengenai penggantian Premium menjadi Pertalite, menurut saya, sampai saat ini tidak ada kejelasan apakah Pertalite akan mutlak menggantikan Premium (yang berarti premium tidak diproduksi lagi), atau hanya sekedar menambah varian BBM.
Di sini peran sosialisasi pemerintah dan peran media menjadi sangat penting. Ketika pemerintah secara jelas menyosialisasikan tujuan pengenalan Pertalite, dan media juga menyampaikan secara benar, masyarakat tidak akan berekspektasi keliru.
Saat ini telah muncul berbagai komentar akan terjadi kenaikan biaya transportasi, distribusi, dan lain sebagainya. Kondisi ini menimbukan ekspektasi yang salah, dan ekspektasi yang salah inilah yang bisa mendorong kenaikan harga lebih tinggi dari seharusnya.
Hal kedua yang patut dicermati, bila pemerintah berniat mengganti Premium, yang menjadi pertanyaan apakah teknologi kilang minyak Indonesia siap untuk memproduksi BBM dengan RON 90 itu? Seperti diketahui, sebagian besar kilang BBM Indonesia memiliki teknologi untuk RON 88 atau Premium.
Bila hal ini dipaksakan, terdapat kemungkinan Pertalite adalah BBM impor, sama seperti kondisi Premium saat ini. Kondisi ini akan membebani masyarakat.
Sedangkan bila Pertalite akan menjadi varian lain di tengah Premium dan Pertamax, menurut saya ini dapat menjadi batu antara yang baik untuk membuat kondisi Iebih ramah lingkungan.