SEMARANG, suaramerdeka .com – Unika Soegijapranata mewisuda 376 mahasiswa untuk periode ketiga September 2015. Rektor Unika Soegijapranata Prof Dr Y Budi Widianarko menyatakan, lulusan Unika Soegijapranata harus kreatif, mandiri dan mempunyai kepercayaan diri menghadapi tantangan jaman.
“Postulat Thomas Friedman sembilan tahun yang lalu bahwa “dunia yang datar” (The World is Flat) tampaknya memang sebuah kenyataan. Konvergensi sistem ekonomi dan teknologi telah menciptakan perekonomian dunia yang sarat saling keterkaitan antar negara. Kelesuan ekonomi Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika perekonomian global,” kata Prof Budi dalam sambutannya di depan wisudawan, orangtua wali dan tamu undangan lainnya di Gedung Albertus lantai 2 Unika Soegijapranata Semarang, Sabtu (5/9).
Proses globalisasi ekonomi ini, tidak ada negara yang bisa hidup dalam ruang hampa. Perekonomian dunia akan terus berubah seiring waktu. Krisis bisa terjadi susul menyusul. Tidak ada lagi apa yang disebut sebagai stabilitas dan yang ada adalah perubahan dinamik.
“Inilah keadaan dunia nyata yang akan segera dimasuki. Semua dinamika yang semua hadapi selama ini di kampus hanya jauh lebih sederhana dari dunia nyata. Maksimal saya hanya bisa berharap bahwa kampus sampai tingkat tertentu memenuhi kualifikasi sebagai simulator dunia nyata,” tutur Prof Budi.
Untuk dapat berhasil dalam dunia yang semakin “rata”, terhubung dan saling tergantung, maka diperlukan kesigapan. Kesigapan dalam mengarungi dunia saat ini dan masa depan mensyaratkan kemandirian dan kreativitas.
“Untuk memiliki kemandirian seseorang harus menguasai keahlian tertentu. Sedangkan kreativitas idealnya telah terasah selama proses belajar mengajar di kampus ini, tentu saja bagi mereka yang mau memanfaatkan kesempatan yang tersedia, baik kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler,” papar Prof Budi.
Selain kemandirian dan kreativitas, masih ada satu lagi yang diperlukan untuk bisa berhasil dalam globalisasi, yaitu kepercayaan diri. Terutama ketika anda harus menghadapi pesaing dari berbagai bangsa. Kepercayaan diri dalam interaksi antar bangsa menuntut kita untuk membebaskan diri dari apa yang disebut oleh salah satu founding father Mochamad Hatta, sebagai mentalitas inlanderisme bekas bangsa terjajah.
Pengidap inlanderisme selalu merasa kagum – dan tentu selanjutnya gentar terhadap orang asing (terutama yang berkulit putih). Dalam pengamatan dan pengalaman saya selama ini, salah satu kunci pendobrak inladerisme adalah penguasaan bahasa internasional. (Puthut Ami Luhur/CN19/SMNetwork)
sumber : berita.suaramerdeka.com