Oleh: dr Indra Adi Susianto MSi Med SpOG, Dekan Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata, anggota Ikatan Dokter Indonesia.
Fakultas Kedokteran dituntut tidak hanya meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa kedokteran, tetapi juga berperan sangat penting untuk melatih para calon dokter yang bukan hanya bisa mengobati tetapi juga “mempunyai hati”.
Seorang dokter tidak hanya bisa mengobati para pasien tetapi juga harus punya empati, mampu berpikir cepat, mempunyai pandangan luas dan bijaksana sehingga dapat melakukan pencegahan suatu penyakit dengan memperbaiki kesehatan di lingkungan tempat tinggal.
PANDEMI Covid 19 membuat Indonesia kehilangan ratusan dokter. Ketua IDI Kota Semarang dr Elang Sumambar menyatakan ada puluhan dokter di Semarang yang gugur saat menyelamatkan nyawa masyarakat dari paparan Covid-19. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Ketua Pelaksana Harian Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Mahesa Paranadipa bahwa jumlah dokter di Indonesia yang gugur 640 orang. Belum lagi tenaga kesehatan lain yang juga gugur akibat pandemi.
Meski sekarang angka kematian dokter akibat pandemi sudah menurun, jumlah dokter yang gugur itu perlu mendapatkan perhatian karena banyak fasilitas kesehatan yang kehilangan dokter, terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Keberadaan dokter dan tenaga kesehatan di wilayah DTPK sangat dibutuhkan masyarakat karena keterbatasan akses dan fasilitas yang dimiliki.
Saat ini rasio dokter dan jumlah penduduk di Indonesia masih jauh dan angka ideal. Distribusi dan penempatan dokter di seluruh wilayah Indonesia juga tidak merata. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan terus berupaya melakukan pemerataan tenaga dokter hingga area DTPK bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
Pada tahun 2018 sudah ditempatkan lebih dari 7.377 dokter, namun rasio dokter di negeri ini masih yang terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu 0,4 dokter per 10.000 penduduk, sehingga empat orang dokter harus melayani 10.000 penduduk.
Saat ini pandemi memang sudah cukup terkendali. Namun situasi pandemi yang lain masih mungkin terjadi lagi pada masa mendatang. Artinya, siapa pun harus selalu waspada dan siap melakukan langkah antisipatif. Salah satunya dengan memperkuat respons terhadap krisis kesehatan masyarakat pada masa depan dengan menyiapkan lebih banyak dokter yang terlatih.
Dalam menyiapkan para dokter, Fakultas Kedokteran dituntut tidak hanya meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa kedokteran, tetapi juga berperan sangat penting untuk melatih para calon dokter yang bukan hanya bisa mengobati tetapi juga “mempunyai hati”.
Seorang dokter tidak hanya bisa mengobati para pasien tetapi juga harus punya empati, mampu berpikir cepat, mempunyai pandangan luas dan bijaksana sehingga dapat melakukan pencegahan suatu penyakit dengan memperbaiki kesehatan di lingkungan tempat tinggal.
Pendidikan dokter saat ini memang merupakan program studi yang paling diminati calon mahasiswa. Namun mempersiapkan dokter yang “mempunyai hati” tidak bisa secara instan. Karena para calon dokter harus melewati proses panjang dan ada keterlibatan banyak pihak.
Perlu diketahui, untuk menyelesaikan kuliah kedokteran, mahasiwa harus terlebih dulu menjalani program pendidikan sarjana kedokteran. Meraih gelar sarjana kedokteran (S1) itu baru langkah awal karena perjalanan belum selesai. Seorang sarjana kedokteran masih harus melanjutkan studi profesi dokter. Pada program profesi atau biasa disebut co-ass (co-assistant) atau dokter muda, mereka harus belajar secara langsung di rumah sakit pendidikan yang tidak hanya terakreditasi oleh Kemenkes tetapi juga Kemendikbud sebagai Rumah Sakit Pendidikan.
Meningkatkan Mutu
Pada Muktamar Ke-30 Tahun 2018, IDI pernah menyoroti sistem pendidikan dokter di Indonesia yang masih berbiaya mahal dan kualitas SDM-nya belum optimal dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Pendidikan dokter masih sulit dijangkau oleh masyarakat kurang mampu karena tingginya biaya pendidikan. Selain itu, penguasaan teknologi kesehatan juga belum memperlihatkan kemampuan daya saing dengan negara lain. Kesenjangan teknologi kesehatan sangat terlihat. Bahkan di tingkat ASEAN, Indonesia masih ‘berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Untuk menjawab tantangan di dunia kedokteran dan mengawal mutu pendidikan dokter, dibutuhkan kerja sama yang baik dan menyatukan visi-misi antara pemerintah, Kemendikbudristek, Kemkes, konsil, dan organisasi profesi. IDI, misalnya terus mengupayakan perbaikan mutu melalui advokasi pendidikan kedokteran dan program Continuing Professional Development (CPD). Karena itu, kualitas pendidikan di lebih dari 80 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia menjadi perhatian serius bagi IDI.
IDI juga mendorong mahasiswa kedokteran dibekali pemanfaatan teknologi dan pengembangan teknologi kedokteran harus mulai diperkenalkan sejak pendidikan Basic Medical Education (BME). Tantangan revolusi industri 5.0 yang berdampak luas terutama pada sektor kesehatan harus dihadapi dengan meningkatkan kemampuan SDM kesehatan kita dalam teknologi dan informasi.
Saat ini, DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran bersama pemerintah. RUU ini dirancang untuk menjamin pemenuhan hak rakyat atas layanan kesehatan. Hak ini tidak boleh terhalang oleh kelangkaan dokter. Melalui RUU Pendidikan Dokter, DPR akan mendorong afirmasi biaya pendidikan dokter untuk putra-putri terbaik. Targetnya untuk area DTPK diberikan beasiswa ikatan dinas untuk didistribusikan ke wilayah-wilayah yang minim dokter. RUU Pendidikan Dokter juga akan mengatur penyetaraan strata pendidikan dokter. Para dokter yang diterima menjadi aparatur sipil negara (ASN) akan langsung menjadi pegawai golongan IIIC.
Langkah lain untuk semakin mengoptimalkan dan menjaga mutu pendidikan kedokteran adalah dengan mengatur dan menentukan standar kompetensi dan kualifikasi lulusan program pendidikan dokter. Mulai dari proses masuk pendidikan dokter sampai lulus hingga memasuki dunia profesi tertuang pada sertifikasi kompetensi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Instrumen penting lainnya untuk menjaga standar kompetensi lulusan program profesi dokter adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). UKMPPD harus dilalui oleh mahasiswa Program Profesi Dokter sebelum dinyata-kan layak menyandang jabatan dokter. UKMPPD terdiri atas dua face tes, yaitu tes berbasis komputer (computer based test) dan OSCE (objective structured clinical examination).
Selain uji kompetensi, fakultas kedokteran sebagai kawah candradimuka para calon dokter harus terakreditasi secara nasional oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia (LAM-PTKes) atau Indonesian Accreditation Agency for Higher Education in Health (IAAHEH) yang beroperasi sejak Maret 2015 yang selalu dipantau dan dievaluasi setiap tahun oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) dalam pengembangan sistem akreditasi nasional.
Terakhir, yang tak kalah penting, para staf pengajar juga harus terus meningkatkan kualitas sebagai pendidik para calon dokter dengan selalu melaksanakan tridharma perguruan tinggi, seperti pengabdian masyarakat dan melakukan penelitian-penelitian yang menghasilkan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Peran dosen sangat penting karena menjadi inspirasi dan contoh sehari-hari bagi para calon dokter sehingga dosen menjadi garda terdepan bagi para calon dokter yang tidak hanya belajar mengenai kedokteran tetapi juga harus mempunyai etika dalam praktik kedokteran.
Saat ini, yang sangat mendesak adalah meningkatkan jumlah dokter untuk merespons krisis kesehatan yang sewaktu-walau bisa terjadi lagi tidak hanya di area perkotaan tetapi juga di area DTPK. Dan, untuk mencetak dokter “mempunya hati”, fakultas kedokteran harus selalu meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran.
►Suara Merdeka 25 November 2021 hal 4
https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-041915916/memperjuangkan-kualitas-pendidikan-dokter?page=all