Oleh Aloys Budi Purnomo, Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
MENGHADAPI krisis ekologi, Bekker (2012) dan McDuff (2012) menawarkan kepemimpinan dalam dialog eko-interreligius. McDuff bahkan berpendapat, kolaborasi interreligius untuk peduli lingkungan dapat mempromosikan kepemimpinan lingkungan “melawan praktik pertambangan yang menghancurkan ekologi dan manusia” (McDuff, 2012:36).
Melanjutkan gagasan mereka, saya mengusulkan kepemimpinan interreligius untuk merawat Bumi dengan panduan Ensiklik Laudato Si’ (ELS), ajaran Paus Fransiskus (2015) tentang merawat Bumi, rumah bersama. ELS saya padukan dengan gagasan Belser (2013) dan Wilfred (2009) tentang ekoteologi interreligius (EI), yakni teologi ramah peduli lingkungan yang mendasari kebersamaan semua orang demi mewujudkan keadilan, keutuhan ciptaan, dan kelestarian lingkungan sesuai tradisinya agar tidak menjadi objek kerakusan, kekerasan, dan ketidakadilan.
Perpaduan tersebut menghasilkan konsep kepemimpinan lingkungan dalam perspektif ELS sebagai dasar untuk mengkonstruksi model kepemimpinan ekoteologis interreligius (KEI) demi merawat Bumi. Model KEI tersebut nyambung dengan pengalaman empiris, yakni pergerakan komunitas pegunungan Kendeng Utara (KPKU) yang sejak tahun 2003 mengembangkan pertanian organik. Namun, mereka terancam rencana pendirian pabrik semen di Sukolilo, Pati, tahun 2006. Mereka pun melakukan perlawanan.
Perlawanan mereka menang. Rencana pendirian pabrik semen di Sukolilo dihentikan. Namun, rencana pendirian pabrik semen pindah ke Rembang. Perlawanan pun bergerak kembali, tak hanya di Pati melainkan di Rembang, yang merupakan bagian dari kawasan pegunungan Kendeng Utara. Perlawanan mereka menang secara legal formal melalui keputusan MK dalam suara bulat PK/TUN/2016. Bahkan terbit KLHS (2017) yang menyatakan bahwa kawasan pegunungan Kendeng Utara adalah kawasan bentang alam karst (KBAK) dan terdapat cekungan air tanah (CAT).
Putusan legal formal tersebut mendasari pergerakan KPKU sampai hari ini. KPKU adalah komunitas Sedulur Sikep dan para petani yang bergerak bersama Gunritno serta Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Mereka berjuang merawat Bumi dari eksploitasi sumber daya alam. Mereka berjuang merawat Bumi menurut keyakinan agama dan kepercayaan mereka. Dalam pergerakan mereka hadir pula para tokoh interreligius, khususnya Islam dan Katolik, yang peduli keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan.
Imperatif moral spiritual
Masalah lingkungan merupakan masalah “imperatif secara moral dan spiritual” yang mencakup tanggung jawab semua orang (ELS 7). Konsep KEI sesuai ELS membantu umat beragama menerjemahkan keyakinan iman dalam keprihatinan lingkungan (bdk. Cahill, 2018; Campos, 2015). Para pemimpin interreligius ditantang untuk keluar dari hegemoni kekuasaan dan merawat Bumi demi generasi mendatang (Ferrara, 2019; Larivera, 2015).
Perpaduan ELS dan EI membantu saya untuk merumuskan ciri model kepemimpinan lingkungan dalam perspektif EI sesuai ELS. Rumusan konseptual kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang mengembangkan dan mengutamakan keramahan dan kepedulian lingkungan sesuai tradisi teologis agama dan kepercayaannya. Kepemimpinan ini mempertemukan antarumat beriman, yang mempunyai perhatian dan kepedulian sama sesuai tradisi masing-masing untuk merawat Bumi yang ditimpa krisis ekologi. Singkatnya, itulah (ke)pemimpin(an) interreligius untuk merawat Bumi, rumah bersama.
Konsep tersebut relevan dalam konteks KPKU. Di KPKU hadir pemimpin ramah dan peduli lingkungan yang menghidupi dan memperjuangkannya penuh pengorbanan. ELS membela dan menghormati masyarakat dan agama adat yang konsisten merawat Bumi dan sering diperlakukan tidak adil (LS 146). ELS meneguhkan hati nurani yang disuarakan KPKU, terutama Sedulur Sikep (bdk. LS 49). Pergerakan mereka diteguhkan, namun pergerakan mereka menjawab ajaran ELS.
Ciri pemimpin eko-interreligius
Sedikitnya, terdapat lima ciri yakni perlawanan tanpa kebencian dan kekerasan; konsistensi tanpa lelah; kesabaran; sikap heroik-kreatif; dan keteladanan dalam kerja bersama. Kecuali itu, terdapat pula enam cara dan strategi yakni ritual doa; jagongan dan rembug bareng; kegembiraan seni budaya; srawung; perlawanan simbolik audio-visual; dan pemanfaatan petisi online. Tujuan utamanya adalah merawat Bumi dan kemanusiaan.
Dalam konteks KPKU, kepemimpinan tersebut dihayati dalam kerja sama interreligius, khususnya Islam, Katolik, dan “agama Adam” (sebagai kepercayaan) dalam keterlibatan dan keberpihakan demi kelestarian lingkungan. Mereka berjuang melindungi PKU sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dan Cekungan Air Tanah (CAT) dari kecenderungan eksploitasi tambang (bdk. ELS 29). Mereka membela kepentingan petani kecil, melindungi ekosistem lokal dari kehancuran demi generasi mendatang berhadapan dengan politik kekuasaan dan korporasi tambang yang berdampak pada krisis ekologi (bdk. ELS 180).
Dibutuhkan kepemimpinan dalam kebersamaan dan kerja sama membuka jalan baru dengan keberpihakan, keramahan, dan kepedulian lingkungan hidup dan semua orang, sesuai tradisi teologis agama dan kepercayaannya demi merawat Bumi, tanpa merugikan generasi mendatang. Kepemimpinan tersebut ditandai lima ciri, yakni spirit inkarnatif-kenosis dalam keberpihakan dan keterlibatan ekologis; suara hati nurani dalam perlawanan tanpa kebencian dan kekerasan meskipun suara itu kecil, sering tidak didengarkan, bahkan dikalahkan; seruan dan penghayatan pertobatan ekologis; visi ekologis integral; dan pengutamaan generasi mendatang dari pada manfaat sesaat.
►https://jateng.tribunnews.com/2022/01/22/opini-aloys-budi-purnomo-pr-kepemimpinan-ekoteologis-interreligius-merawat-bumi?page=all.
Tribun Jateng 22 Januari 2022 hal. 2