Oleh: Ridwan Sanjaya, Guru Besar bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata
Metaverse disebut-sebut jadi mantra baru dalam pengembangan teknologi atau bahkan kehidupan di masa depan. Akan tetapi, seperti teknologi lainnya metaverse bukan obat untuksegala masalah dan bebas dari efek negatif.
Setelah Mark Zuckerberg mengumumkan perubahan nama Facebook menjadi Meta beserta rencana pengembangan metaverse dalam sepuluh tahun ke depan, Seoul mendeklarasikan penerapan metaverse untuk kotanya lima tahun ke depan.
Di dalam negeri, langkah ini juga diikuti beberapa BUMN, universitas, dan pemerintah daerah melalui kesepakatan kerja sama dalam beberapa waktu ke depan. Metaverse disebut-sebut jadi mantra baru dalam pengembangan teknologi atau bahkan kehidupan di masa depan.
Sebagai sebuah pengalaman baru, atau bahkan baru sekadar informasi baru, berbagai analisis terkait dampak keberadaan metaverse muncul tiba-tiba secara gegap gempita, tetapi tidak lengkap dan tak komprehensif. Mengharapkan metaverse menjadi solusi positif tanpa adanya risiko dan dampak negatif hanya akan menjauhkan masyarakat dari kenyataan.
Mengharapkan metaverse menjadi solusi positif tanpa adanya risiko dan dampak negatif hanya akan menjauhkan masyarakat dari kenyataan.
Sama seperti kenyataan yang lain, di mana mengharapkan seseorang dengan kepandaian penyembuhan untuk dapat menyembuhkan segala hal, atau sebuah pil yang hebat dapat menyembuhkan segala penyakit, hanya akan menciptakan akhir penuh kekecewaan.
Risiko dan dampak negatif
Pada kenyataannya, berbagai solusi masa lalu yang tidak melibatkan teknologi informasi sekalipun juga tidak dapat menyelesaikan semua masalah atau membebaskan dari risiko dan dampak negatif yang ada. Begitu halnya metaverse atau teknologi yang lain, sejatinya juga bukanlah obat dewa yang dapat memberi jawaban atau segala masalah dan bebas dari efek negatif.
Untuk itu, melihat secara proporsional dan komprehensif perlu dilakukan di zaman pascakebenaran seperti saat ini, agar kita tidak salah melangkah atau kehilangan manfaat dari keberadaan berbagai teknologi informasi yang sedang berkembang. Sepertinya perlu juga untuk melihat berbagai analogi di masa lalu agar cara memandang bisa lebih berimbang.
Seperti halnya analogi dalam melihat teknologi pembelajaran digital yang dituduh tak dapat menjadi solusi bagi banyak siswa di beberapa tempat yang memiliki kesulitan akses internet. Sudut pandang lain adalah melihat hal itu sebagai bentuk keterbatasan pengembangan jaringan internet dan kualitas jaringan. Suatu bentuk kritik yang diharapkan bisa mendorong ketersediaan jaringan internet di beberapa daerah.
Sama halnya dengan keterbatasan dalam penguasaan materi saat pandemi, di mana pembelajaran daring sering dituduh sebagai penyebabnya. Sudut pandang lainnya, bisa saja melihat hal ini sebagai bentuk keterbatasan dalam pengembangan teknik pengajaran dan pembelajaran secara daring.
Selama ini belum banyak dilakukan pengembangan teknik pembelajaran daring dan variasinya karena sebagian besar pengalaman masih terbatas di dalam pertemuan tatap muka. Hal ini dapat mendorong pengembangan pedagogi dan andragogi menjadi lebih luas.
Dua analogi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada obat dewa yang bisa menyelesaikan semua masalah, baik digital maupun nondigital. Namun, pengembangan ke arah yang lebih baik selalu diharapkan untuk dapat menciptakan dunia dan masyarakat yang lebih adaptif.
”Metaverse” tipis-tipis
Kondisi awal pengembangan metaverse saat ini mirip dengan awal pengembangan transaksi jual beli secara digital pada 25 tahun yang lalu. Meskipun sudah tampak menakjubkan dari sisi grafis, masih banyak yang harus dikembangkan agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas di luar kepentingan rapat, diskusi, presentasi, atau menonton pertunjukan langsung di lain tempat secara bersama-sama.
Sampai saat ini, perangkat keras untuk bisa mengakses ke dunia virtual ini juga masih berbiaya besar. Masih dibutuhkan pengembangan, baik dari sisi teknologi maupun kemudahan akses dari sisi perangkat keras yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.
Mekanisme untuk membawa produk nyata ke dalam dunia virtual juga masih belum ada. Wujud virtual juga masih belum serupa dengan wujud nyata juga. Begitu pula, kebebasan untuk membangun dunia sendiri juga belum dapat dirasakan oleh pengguna di luar Amerika Serikat dan Kanada.
Kondisi awal pengembangan metaverse saat ini mirip dengan awal pengembangan transaksi jual beli secara digital pada 25 tahun yang lalu.
Namun, metaverse tipis-tipis ini telah menciptakan harapan akan adanya kemudahan untuk bertemu, menjalin komunikasi, mendapatkan layanan, dan mendapatkan akses secara bersama-masa meskipun terpisah ruang.
Di dalam metaverse diharapkan layanan publik dapat makin mudah diperoleh, pemasaran produk dapat semakin interaktif, atau bahkan pertemuan- pertemuan dapat menjadi lebih berkualitas karena pihak-pihak yang terlibat secara fisik bertemu langsung meskipun di dunia virtual.
Keikutsertaan beberapa institusi di luar ataupun dalam negeri pada awal-awal pengembangan dapat dilihat sebagai pengondisian untuk menyiapkan diri dan kemungkinan mengembangkan layanan menjadi lebih baik ketika teknologi ini sudah sampai pada tahapan matang. Sekaligus menyiapkan diri untuk lebih dini dalam mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diharapkan.
Apalagi kemungkinan metaverse tidak hanya merupakan dimensi virtual yang didominasi oleh Oculus dari Meta saja, tetapi juga secara kompetitif akan dikembangkan oleh NVIDIA, Microsoft, Huawei, MagicLeap, ataupun yang lain.
Perusahaan-perusahaan tersebut akan menjadikan metaverse lebih beragam dan sangat berbeda dengan konsep awalnya. Masih harus menempuh perjalanan jauh dan waktu yang tidak singkat untuk mencapai kondisi yang ideal.
Selama perjalanan tersebut, perlu cara pandang proporsional dan komprehensif agar menjadi lebih bijak.
#Kompas 19 April 2022. hal. 7
https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/18/metaverse-bukan-obat-dewa