Tak Minder Jadi Minoritas – Porochista Khakpour, Novelis Amerika Keturunan
Porochista Khakpour (37) tak pernah bermimpi menjadi warga negara Amerika Serikat (AS). Kecamuk Revolusi Iran membuat dia dan keluarganya terpaksa meninggalkan Negeri Para Mullah pada 1981. Kini dia dikenal sebagai novelis, dosen, dan jurnalis yang cukup dikenal di Negeri Paman Sam.
KETIKA itu Porochista berusia tiga tahun. Dia tidak mengerti mengapa orang tuanya mau meninggalkan kehidupan mereka yang nyaman di tempat kelahiran, Teheran. Mereka akhirnya menetap di Los Angeles (LA), California, AS. ”Saat itu kami hanya membawa dua koper. Maklum, orang tua saya mengira kami hanya akan bepergian untuk sementara waktu,” tutur Porochista saat menceritakan kisah hidupnya ketika menjadi pembicara pada kuliah umum ”Multicultural America: Being a Minority” di Unika Soegijapranata, Semarang, baru-baru ini. Jika Anda pernah menonton reality tv ”Shahs of Sunset” yang menceritakan kehidupan glamor warga Iran, tidak demikian halnya dengan yang dialami Porochista dan keluarganya. ”Di Teheran, kami tinggal di mansion. Kamar saya penuh mainan. Di LA, kami harus tinggal di apartemen kecil,” kata dia dalam acara yang diselenggarakan Unika bekerja sama dengan Kedutaan Besar (Kedubes) AS itu. Kendati ayahnya berprofesi sebagai ahli fisika nuklir, tak mudah baginya mendapat pekerjaan di AS. ”Keluarga kami ada yang menduduki posisi di pemerintahan. Karena itu, kami tidak bisa membawa harta keluar Iran.
Hal itulah yang menyebabkan kami tidak bisa langsung hidup nyaman di AS.” Kini kehidupan keluarganya boleh dibilang lebih nyaman. Tahun lalu, kedua orang tuanya membeli rumah di LA setelah bertahun-tahun hanya mampu menyewa apartemen. Mereka memilih LA karena di sana banyak imigran dari berbagai negara. Iklim LA yang tidak jauh beda dari Iran juga menjadi pertimbangan. Begitu banyak orang Iran yang tinggal di sana, kota itu mendapat julukan Tehrangeles. Meski menjadi minoritas, Porochista tidak minder. Itu pula yang dia tularkan selama menjadi pembicara dalam sejumlah acara di Indonesia. Jadi Penulis Porochista baru memperoleh kewarganegaraan AS pada 2001, setelah Tragedi 9/11. Lantas, apa yang membuatnya terjun di dunia tulis menulis? Dia mengaku bercita-cita sebagai penulis sejak kecil karena gemar membaca dan menjadi story teller. Namun, ada yang meragukan mengingat Bahasa Inggris bukanlah bahasa ibunya. Tapi hal itu tidak membuat semangatnya ciut. Pada usia 18 tahun, Porochista pindah ke New York yang merupakan rumah bagi para penulis AS untuk mengejar cita-cita. Awalnya dia tidak yakin kisah keluarganya layak dijadikan novel. Sebab dalam benaknya, bacaan yang laku di Amerika adalah jenis fiksi atau fantasi. Novel pertamanya yang berjudul Sons and Other Flammable Objects (2007) dengan latar belakang Tragedi 9/11 dan keluarga keturunan Iran yang tinggal di New York dan LA meraih penghargaan California Book Award, serta mendapat sambutan positif baik di AS maupun luar negeri. Novel itu fokus pada perjuangan seorang anak lelaki untuk menjauhkan diri dari orang tua, sejarah, dan etnisnya demi mencari jati diri. Orang tuanya pun berjuang sekuat mungkin untuk menahannya dan berdamai dengan masa lalu. Menurut ulasan The New York Times, kekuatan Porochista terletak pada percakapan yang menohok, gambaran yang gamblang, dan humor yang tajam. Adapun novel lain karyanya berjudul The Last Illusion (2014) dan memoarnya yang diberi judul Sick akan terbit pada 2017. Selain menjadi novelis, Porochista juga berprofesi sebagai dosen dan jurnalis. Dia adalah kontributor untuk The New York Times .
Dia juga mengajar di beberapa universitas seperti Columbia University, Fordham University, Hofstra University, dan lain-lain. Suka Indonesia Porochista mengaku seketika menyukai Indonesia. ”Kalian sangat beruntung tinggal di sini. Saat saya berpergian, butuh waktu untuk merasa betah di tempat baru. Namun di sini saya langsung merasa betah,” kata dia sambil memuji keramahan orang Indonesia dan keindahan alamnya. Selain mengunjungi berbagai perguruan tinggi, Porochista juga dijadwalkan menghadiri Ubud Writers & Readers Festival pada 28 Oktober-1 November di Ubud, Bali. Sebagai representasi umat Islam, Porochista selalu berusaha memberi pemahaman kepada publik. ”Mereka yang mengatakan Islam identik dengan terorisme pasti tidak tahu tentang Islam. ISIS tidak ada hubungan dengan Islam,” katanya berapi-api. Menurut dia, media membesarbesarkan fakta bahwa menjalankan ibadah sebagai umat muslim di AS tidak mudah. ”Jika Anda ke New York, Anda akan banyak menemukan masjid di Harlem dan Brooklyn.” (Ida Nursanti-59)
sumber : berita.suaramerdeka.com