Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang, pengajar pada Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata.
Dalam realitas sosial politik, kecenderungan manusia adalah menginginkan gerak naik, tetapi melupakan gerak turun. Orang ingin menggapai jabatan dan pangkat setinggi-tingginya, meraih kekuasaan tertinggi, namun lupa bahwa jabatan, pangkat, dan kekuasaan adalah jalan pelayanan dan pengabdian melalui gerak turun kerendahan hati.
UMAT Kristiani merayakan Kenaikan Yesus Kristus ke surga, Kamis (26/5). Mengapa Ia naik ke surga? Jawabannya secara sederhana namun bermakna teologis sangat jelas. Ia naik ke surga karena Ia telah turun untuk mewujudkan kasih Allah kepada umat manusia dan seluruh ciptaan. Kenaikan-Nya ke surga merupakan konsekuensi logic dari kerelaan-Nya untuk turun ke bumi, bahkan ke dalam kematian. Kematian-Nya bukanlah akhir, melainkan jalan menuju kehidupan dan kemuliaan. Karena itulah, Ia naik ke surga, tempat Ia berasal.
Kenaikan-Nya ke surga bukanlah tujuan melainkan sebagai buah kemenangan. Tujuan kenaikan-Nya juga bukan untuk diri-Nya sendiri melainkan demi kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa diskriminasi. Kesejahteraan sesudah peziarahan duniawi dan manusiawi umat manusia di dunia berada dalam kebahagiaan surgawi bukan sebagai utopia melainkan sebagai eskatologi masa depan dalam keabadian. Semua orang merindukan dan ingin menggapainya.
Dalam realitas sosial politik, kecenderungan manusia adalah menginginkan gerak naik, tetapi melupakan gerak turun. Orang ingin menggapai jabatan dan pangkat setinggi-tingginya, meraih kekuasaan tertinggi, namun lupa bahwa jabatan, pangkat, dan kekuasaan adalah jalan pelayanan dan pengabdian melalui gerak turun kerendahan hati.
Fenomena belakangan ini sangat menggambarkan realitas ini. Orang-orang tertentu diorbitkan atau mengorbitkan diri agar dapat meraih kekuasaan di 2024. Yang memprihatinkan, cara yang ditempuh pun melampaui batas-batas etis. Contohnya jelas, sekarang ini, secara politik kekuasaan, individu atau kelompok tertentu sudah berancang-ancang untuk nyalon menjadi “RI 1” pada kontestasi Pilpres 2024. Untuk menuju 2024, bahkan sejak tahun 2021 lalu, orang sudah sibuk membangun pencintraan agar mendapat dukungan.
Hemat saya, ini tidak sesuai dengan etika Jawa alias ora ilok! Bagaimana orang sedemikian ngebet nyalon di Pilpres 2024, sementara bangsanya sedang disibukkan untuk menyejahterakan rakyatnya yang sedang dilanda pandemi sejak 2020 silam? Rasa prangrasa budaya Jawa, itu namanya nggege mangsa, kesusu, kemrungsung, bahkan tanpa disertasi nurani bela rasa, ketika para pemimpin lain sedang sibuk mengatasi pandemi dan berbagai persoalan yang menyertainya. Pihak tertentu sibuk pencitraan untuk nyapres (nyalon presiden). Entah yang menghebuskan niat maupun yang bersangkutan yang setuju dengan niat itu berada dalam aroma ora ilok etika Jawa.
Sikap nggege mangsa ini berlawanan dengan gerak turun, yakni gerak membumi kerendahan hati sebagaimana diteladankan para nabi, dan terutama yang dihayati Yesus Kristus. Alih-alih haus kekuasaan, Ia justru menanggalkan aura Ilahi dengan menjadi manusia, bahkan menjadi hamba untuk melayani. Pelayanan total hingga kematian demi keselamatan semua orang. Itulah makna teologis gerak turun Yesus, yang sering disebut sikap inkamatif yang kenotik, yakni merendahkan diri dan mengosongkan diri menghamba melayani bukan sibuk mencari tahta kekuasaan!
Kerendahan Hati
Gerak turun mengandaikan kerendahan hati dan keikhlasan, lawan dari arogansi dan pamrih berwatak pongah dan congkak, apalagi sambil menginjak-injak kaum miskin dan merusak bumi. Arogansi yang berwatak pamrih dengan wajah pongah biasanya juga disertai ketidakjujuran, sikap lamis, bahkan kasat mata tak segan-segan menabrak hukum yang berlaku yang harus ditaatinya dengan jurus tipu-tipu yang anak kecil pun tahu bahwa dirinya sedang menutupi bukan hanya sesuatu yang keliru, melainkan kesalahan ekologis yang fatal!
Itulah sebabnya, secara etis, perilaku demikian disebut orailok yang mubal seperti aroma kotoran; orang lain mencium aromanya yang tak sedap, kecuali yang bersangkutan dan para pendukungnya. Dalam prinsip ekologis, hal ini parah oleh sebab segala sesuatu terhubung satu terhadap lainnya. Karenanya perlindungan autentik untuk kehidupan masyarakat secara sosial-politik tak dapat dilepaskan dari alam semesta berdasarkan prinsip persaudaraan, kesetiaan, dan keadilan lingkungan. Itulah sebabnya, disebut ora ilok!
Seharusnya, tanggung jawab atas tugas dan pelayanan yang sedang diemban saat ini diutamakan secara adil dan bijaksana. Mengabaikan tugas pelayanan aktual dan sibuk menyusun strategi meraih kekuasaan apalagi dengan mengabaikan sikap dasar memelihara dan menjaga hubungan baik dengan warga terdekatnya, yang harus diperhatikan dan dilindungi, hanya akan menjadi jalan penghancuran dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan bumi, bahkan dengan Tuhan. Ketika semua hubungan ini diabaikan, ketika keadilan lingkungan diabaikan melalui fakta penghancuran bumi yang dieksploitasi, kerusakannya jauh lebih parah dibandingkan hancurnya harmoni kebangsaan.
Kehancuran ekologis akan merusak ekologi sosial yang melahirkan kekerasan dan menghempaskan kesejahteraan, kesatuan, dan keharmonisan antara sesama.
Dalam perspektif kehidupan Yesus Kristus yang naik ke surga, cita-cita harmoni, keadilan, persaudaraan dan perdamaian itulah yang ditawarkan-Nya. Perspektif ini berkebalikan dari model haus kekuasaan nggege mangsa yang ora ilok itu. Inilah yang dikirik Yesus sendiri saat bersabda, “Penguasa-penguasa bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu”(Matius 20: 25-26).
Persis itulah yang disebut dengan gerak turun pelayanan, merawat bumi, mewujudkan keadilan, persaudaraan, dan perdamaian. Tanpa kerendahan hati sebagai gerak turun, seorang pemimpin hanya akan dikenang sebagai lamis, menipu, dan menindas. Ketidakpedulian atau kekejaman terhadap semesta dan ciptaan cepat atau lambat akan memengaruhi perlakuan kita terhadap sesama manusia.
Sikap peduli dan ramah terhadap lingkungan, tidak merusak dan menghancurkannya akan menjadi gerak turun ekologis yang membawa berkah. Tanpa harus dikejar pun, tahta pelayanan akan dipercayakan kepada siapa saja yang sekarang ini mempunyai komitmen merawat bumi dan seisinya, sena peduli kepada mereka yang paling rentan. Gerak turun itu akan dianugerahi gerak naik, sebagaimana terjadi dalam peristiwa iman yang sedang dirayakan umat Kristiani sedunia. Yesus telah naik ke surga, karena ia telah lebih dahulu menghayati gerak turun ke bumi, mengasihi, dan menebusnya dengan kasih pelayanan dan pengorbanan-Nya.
Semoga kenangan kenaikan Yesus Kristus ke surga menginspirasi kita semua dengan kerendahan hati dan sikap ramah peduli merawat lingkungan dan kasih kepada kaum tertindas.
Selamat Hari Kenaikan Yesus Kristus bagi yang merayakannya.(34)
#Suara Merdeka 25 Mei 2022 hal. 4