Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Dosen Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
TANGGAL 26 Mei 2022 dirayakan sebagai Kenaikan Isa Al-Masih (= Yesus Kristus) ke surga.’Apa maknanya bila direnungkan dalam konteks kemanusiaan dan keutuhan ciptaan? Pertama, Hari Raya Kenaikan Yesus Kristus ke surga merupakan salah satu dari rangkaian perayaan Paskah dalam tradisi Kristiani.
Setelah kenangan akan kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut (Paskah), Yesus yang bangkit tidak lagi dikuasai oleh aspek-aspek duniawi dan manusiawi, maka Ia naik ke surga dalam kemuliaan. St. Lukas dalam The Acts of the Apostles, merefleksikan peristiwa tersebut secara singkat dan menulis, “terangkatlah Ia (= Yesus) disaksikan oleh mereka (= para murid Yesus), dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga” (Acts 1:9, 11).
Kedua, kenaikan Yesus ke surga menyempurnakan karya penebusannya terhadap seluruh umat manusia tanpa diskriminasi, termasuk bagi keutuhan seluruh makhluk ciptaan. Di dalamnya terdapat realitas pengangkatan martabat kemanusiaan dan perawatan keutuhan ciptaan yang telah dipulihkan-Nya dengan kasih sayang dan kelembutan Ilahi. Terdapat interkoneksitas yang erat antara martabat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.
Martabat kemanusiaan
Interkoneksitas manusia dan ciptaan bahkan dengan Sang Pencipta – apa pun Sebutan-Nya – sudah sangat lama disadari oleh para mistikus dari berbagai kalangan agama. Mengacu pada refleksi Ali al-Khawas, seorang guru spiritual Islam abad pertengahan, kita bisa belajar betapa pentingnya agar kita tidak terlalu memisahkan makhluk-makhluk dunia dari pengalaman batiniah akan Allah.
Menurut al-Khawas prasangka tidak seharusnya membuat kita mengkritik mereka yang mencari ekstase dalam musik dan puisi. Ada `rahasia’ halus dalam setiap gerakan dan suara dari dunia ini. Keheningan batin dan kesucian jiwa mampu menangkap yang dikatakan angin yang bertiup, pohon yang bergoyang, air yang mengalir, lalat yang berdengung, pintu yang berderit, burung yang bernyanyi, atau dalam suara petikan senar alat musik, siulan seruling, desah orang sakit, erangan orang yang disiksa (Eva De Vitray- Meyerovitch [ed.], Anthologie du soufisme, Paris 1978:200; Adnan Mokrani, 2017).
Hebatnya lagi, refleksi al-Khawas diangkat pula oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’, yang pada 24 Mei 2022, genap berusia tujuh tahun, sebagai sebuah ajaran moral sosial terkait dengan perawatan Bumi, rumah bersama. Terinspirasi puisi Sufistik al-Khawas, Paus Fransiskus menulis, alam semesta berkembang dalam Allah yang memenuhinya sepenuhnya. Ada makna mistis dalam sehelai daun, dalam sebuah lintasan alam, dalam embun, dalam wajah orang miskin. Idealnya bukan hanya bergerak dari luar ke dalam untuk menemukan tindakan Allah dalam jiwa, tetapi juga bisa menemukan-Nya dalam segala sesuatu (Laudato Si’/LS 233).
Bahkan, gagasan al-Khawas tersebut disandingkan dengan ajaran St. Bonaventura yang menulis, bahwa setiap detil makhluk ciptaan membuat kontemplasi menjadi lebih sempurna. Kita pun kian merasakan efek daya rahmat ilahi dalam diri kita sendiri, hingga kita dapat belajar secara lebih baik lagi untuk menemukan Allah dalam segala makhluk ciptaan.
Termasuk pengalaman Yohanes dari Salib pun menarik untuk diperhitungkan demi menghargai martabat kemanusiaan yang terhubung dengan Tuhan dan ciptaan lainnya dengan hubungan mesra. Indahnya gunung-gemunung tak terpisahkan dari Sang Pencipta dan martabat manusia, hingga sang mistikus menulis,
“Gunung-gemunung tinggi, subur, luas, indah, anggun, berbunga dan harum. Gunung-gemunung ini – itulah Kekasihku bagiku. Lembah-lembah yang terpencil tenang, menyenangkan, sejuk dan teduh. Air jernih mengalir berkelimpahan di situ. Dengan keragaman vegetasinya dan lagu merdu burung-burung yang menghuninya, mereka mempesonakan dan menyegarkan indra. Dan dalam kesunyian dan keheningan, mereka memberikan kita kesegaran dan istirahat. Lembah-lembah ini – itulah Kekasihku bagiku” (LS 234).
Dipertaruhkan
Sayangnya, dewasa ini, martabat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan sedang dipertaruhkan oleh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi terus membenarkan sistem global dengan mendahulukan spekulasi dan pengejaran keuntungan finansial yang cenderung mengabaikan konteks apa pun, serta akibat-akibatnya pada martabat manusia dan lingkungan alam. Dengan prinsip interkoneksitas tadi, kerusakan lingkungan pun menjadi bumerang bagi kerusakan martabat kemanusiaan.
Manusia berada dalam bahaya skizofrenia tetap, karena sikap pengagungan teknokrasi tanpa mengakui nilai intrinsik makhluk-makhluk ciptaan. Namun demikian, tak seorang pun dapat mengabaikan martabat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Karenanya, diperlukan kerendahan hati untuk berubah dari kecenderungan eksploitatif destruktif menuju sikap transformatif konstruktif dalam memandang martabat manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Sikap ini menumbuhkan cara pandang positif dan memberi semangat tanpa sambat untuk berjuang merawat dan menghargai martabat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.
Dengan berpijak pada realitas bumi inilah, selayaknya, siapa saja yang mengenang dan merayakan kenaikan Yesus Kristus ke surga perlu mengubah sikap pula. Janganlah terus mengabaikan dan mempertaruhkan martabat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan demi manfaat sesaat, apalagi mengabaikan generasi sekarang dan terutama generasi masa depan. Mari kita jadikan kenaikan Isa Al-Masih sebagai momentum untuk berubah dan berbuah kebaikan, terutama dalam kepedulian merawat kemanusiaan dan keutuhan ciptaan!
#Tribun Jateng 25 Mei 2022 hal. 2