Sebulan kemudian, Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) diminta mengurungkan diskusik soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), sama seperti Brawijaya International Forum Universitas Brawijaya Malang. Universitas Brawijaya juga melarang pemutaran film Samin Vs Semen serta Senyap (Joshua Oppenheimer). Sementara itu, Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata justru berhasil memutar film Oppenheimer yang juga dihadiri eks tahanan politik Orde Baru, dan mengadakan diskusi yang dihadiri aktivis gay Indonesia, Dede Oetomo. Berikut perbincangan dengan penggerak beberapa kegiatan di Unika Soegijapranata, dosen filsafat Donny Danardono.
Pelarangan diskusi, penerbitan, pemutaran film, hingga ekspresi seni masih acap kali terjadi di kampus. Kenapa?
Sering terjadi di beberapa kampus. Ada banyak tekanan dari luar kampus ketika tema yang diangkat menuai perdebatan di luar kampus. Ada organisasi masyarakat (ormas) yang menekan. Kita tahu ormas itu tidak berdiri sendiri. Ada aparat keamanan di belakangnya, yang membawa kepentingan tertentu. Tekanan bahkan muncul dari pemerintah daerah.
Dalam kasus Majalah Lentera, pemimpin kampus menghadapi tekanan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kota Salatiga. Tekanan itu memicu ketakutan di dalam kampus. Kasus Lentera agak berbeda latar belakang dari kasus diskusi LGBT di Undip.
Di Unika pun ada beberapa dosen yang mengingatkan untuk tidak menggelar diskusi, pemutaran film, atau yang lain dengan tema tertentu. Namun kuncinya ada pada pemimpin kampus sebagai pelindung. Untung, pemimpin kampus kami memahami soal kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi keilmuan.
Bukan berarti pemimpin kampus lain tidak paham soal itu. Pemahaman pasti mereka miliki, tetapi bisa jadi berbenturan dengan pertimbangan lain, karena pemimpin kampus tidak berdiri sendiri. Ada risiko yang juga harus mereka pikirkan. Kemungkinan lain, bisa jadi pemahaman itu berbenturan dengan pendapat pribadi pemimpin kampus. Perlu juga melihat latar belakang pemimpin tersebut.
Bagaimana posisi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan itu?
Kebebasan akademik merupakan upaya mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridarma perguruan tinggi. Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
Otonomi keilmuan merupakan otonomi pada suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik. Tiga hal itu dilindungi konstitusi. Jadi tidak bisa dibenarkan jika ada pihak yang melarang.
Ada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Pasal 8 Ayat 1 disebutkan, dalam penyelenggaraan pendidikan dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Dalam Pasal 3 disebutkan, pelaksanaannya merupakan tanggung jawab pribadi sivitas akademika yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pemimpin perguruan tinggi.
Agak bias dalam Pasal 2 bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui pembelajaran, penelitian ilmiah dengan menjunjung tinggi nilai agama. Namun pengertiannya begini. Misalnya, dalam kasus pengembangan teknologi kloning. Ada nilai dan norma agama yang memungkinkan teknologi itu diterapkan. Namun dalam penelitian dan pengembangan, tetap sivitas akademika memiliki otonomi.
Sementara untuk menerapkan, perlu dialog atau diskusi dengan tokoh keagamaan untuk menemukan kemungkinan solusi. Tujuannya untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia.
Jika sudah ada konstitusi yang melindungi, tetapi pelarangan masih terjadi, bagaimana harus menyikapi?
Menyampaikan pendapat dan berekspresi itu hak asasi manusia. Jadi tidak bisa dimaklumi jika ada pihak lain yang mengintimidasi. Di Unika sering ada diskusi dan pemutaran film yang justru dilarang di tempat lain. Pemimpin kami biasanya berpesan, “Hati-hati, semoga sukses.”
Hati-hati bukan berarti takut. Namun bagaimana caranya mengupayakan agar diskusi tetap berlangsung. Kami berusaha memakai cara-cara yang tidak provokatif, termasuk dalam memublikasikan kegiatan. Dan, itu tidak mengurangi audiens yang datang. Pemutaran film Senyapdi Unika yang digelar bersama teman-teman pers juga waktu itu, dihadiri hampir 200 orang. Dan, berhasil.
Artinya begini, terkadang cara yang digunakan provokatif. Memancing aparat keamanan dan pihak lain yang notabene tidak setuju tema kegiatan untuk bereaksi.
Apa bisa disebut itu kekeliruan strategi?
Saya tidak bisa menyalahkan begitu. Kembali ambil kasus Majalah Lentera, itu diedarkan secara luas ke masyarakat di luar kampus. Tidak salah dan cara mereka juga tidak bisa dikatakan salah. Toh mereka juga bisa memberi penyadaran tentang kebenaran peristiwa 1965 untuk lingkup Kota Salatiga dalam majalah itu dengan cara lain.
Mahasiswa di kampus lain, termasuk mahasiswa saya, belum tentu berani melakukan itu. Anda lihat, meski dilarang, tetap masyarakat membaca majalahnya kan? Dan, masyarakat menjadi tahu sehingga sadar akan kebenaran peristiwanya.
Perlu pendekatan pada pihak di luar kampus yang berpotensi mengintervensi pemimpin kampus untuk melarang?
Saya tidak pernah melakukan itu. Tidak kenal aparat keamanan dan ormas. Memublikasikan kegiatan yang akan dilakukan adalah semata-mata ilmiah, juga tidak. Hanya berusaha tidak provokatif.
Apa bisa kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi kampus ditarik keluar kampus? Mengedarkan hasilnya ke luas kampus, misalnya.
Sangat bisa. Justru perguruan tinggi memiliki tanggung jawab tridarma. Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Pengabdian masyarakat juga bukan hanya soal kuliah kerja nyata (KKN). Hasil diskusi dan berbagai kajian di kampus seharusnya menjadi kontribusi bagi masyarakat.
Intervensi kepentingan di luar kampus harus difilter dengan cara-cara tertentu. Untuk menjaga visi Tridarma Perguruan Tinggi, salah satunya perlu juga digagas cara-cara yang tidak provokatif. Untuk mencapai tujuan, ada kebenaran yang diketahui dan dipahami bersama. (51)
Oleh Eka Handriana