Oleh : Perigrinus H Sebong, Dosen FK Unika Soegijapranata Semarang; Peneliti Kesehatan Global
Fenomena La Nina yang kian menguat harus disikapi secara serius, terutama terkait ancaman ekosindemi. La Nina yang kuat bisa mengubah ekosistem yang berdampak kepada keselamatan, baik manusia maupun lingkungan.
Tajuk Rencana Kompas edisi 31 Mei 2022 berjudul “Merespon Cuaca La Nina” menurut penulis adalah kode keras yang mempertanyakan keseriusan kita berhadap-hadapan dengan fenomena cuaca ekstrem dan perubahan iklim saat ini. Lantas mengapa La Nina tidak bisa dipandang sebelah mata di Indonesia?
Ekosindemi
Indonesia sejak lama telah dililit beban penyakit gara-gara buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri. Pernyataan ini tidak berarti negara kita adalah negara kumuh! Tetapi, terhitung sejak masa Hindia Belanda (1901), perang melawan penyakit akibat buruknya sanitasi adalah program kesehatan masyarakat yang paling awal kala itu dan hingga kini belum berakhir. Laporan mencuatnya degradasi ekosistem akibat fenomena alam dibarengi maraknya kejadian wabah penyakit di beberapa negara, semakin meyakinkan dugaan telah terjadi ekosindemi.
Istilah ekosindemi sebenarnya diturunkan dari konsep sindemi, yaitu kumpulan berbagai epidemi kesehatan yang saling terkait dan bersinergis di suatu wilayah. Bedanya, ekosindemi lebih fokus kepada perubahan ekosistem yang berdampak kepada keselamatan, baik manusia maupun lingkungan.
Menurut kacamata ekosindemi, penyebab kematian dan penyakit tidak berdiri sendiri, tetapi dipicu juga oleh interaksi faktor lainnya terutama fenomena cuaca dan perubahan iklim (Tallman dkk, 2022). Lalu apa saja potensi ekosindemi di Indonesia selama fenomena La Nina ?
Pertama, La Nina berpotensi menyebabkan banjir akibat tingginya curah hujan. Selain menelan korban jiwa dan materi, banjir juga mengganggu fungsi sistem kesehatan. Ini terutama dirasakan mereka yang memiliki kondisi medis tertentu karena membutuhkan perawatan dan pengobatan berkelanjutan seperti pasien penyakit kronis dan ibu hamil.
Sejak tahun 1990-2022, Indonesia telah mengalami lebih dari 78 persen kejadian bencana banjir dan cuaca ekstrem. Indonesia juga berada di peringkat ketiga negara yang paling sering kebanjiran (Oktari dkk, 2022).
Apabila, tidak ada inovasi perawatan kesehatan maka saat banjir datang sudah pasti akses ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan apotek sama sekali terputus. Kejadian banjir berulang juga mengacaukan rutinitas pelayanan perawatan kesehatan dasar seperti posyandu dan dapat menambah beban pikiran masyarakat yang terdampak.
Kedua, fenomena cuaca ekstrem meningkatkan kontak langsung antara kelompok rentan seperti anak-anak, warga lanjut usia (lansia), pekerja lapangan, dan difabel dengan sumber bahaya. Mereka jauh lebih berisiko karena lebih sering kontak fisik dengan potensi bahaya tetapi tidak memiliki kemampuan beradaptasi atau melindungi diri dari ancaman tersebut.
Ketiga, vektor penyakit seperti nyamuk yang sensitif terhadap cuaca seperti La Nina, populasinya terus bertambah. Kondisi ini tentu menambah daftar pekerjaan Indonesia sebagai negara tropis di mana masih banyak penyebab dan jenis penyakit lainnya yang sensitif terhadap cuaca.
Semakin banyak curah hujan, maka semakin banyak pula nyamuk yang berkembang biak dan siap menularkan penyakit ke tubuh kita. Apabila melihat data terkini, usaha pemberantasan sarang nyamuk kita masih memprihatinkan. Selama 10 tahun terakhir angka bebas jentik kita hanya sekitar 24 persen hingga 80 persen, masih jauh dari target nasional (<95 persen).
La Nina bisa memicu outbreak diare. Tanpa upaya serius, ini sangat mungkin terjadi mengingat kejadian diare meningkat dari 7 persen menjadi 8 persen beberapa tahun terakhir.
Keempat, La Nina bisa memicu outbreak diare. Tanpa upaya serius, ini sangat mungkin terjadi mengingat kejadian diare meningkat dari 7 persen menjadi 8 persen beberapa tahun terakhir. Selain disebabkan oleh virus, bakteri, dan protozoa, diare juga sangat sensitif terhadap fenomena cuaca dan iklim. Curah hujan yang tinggi selama La Nina membuka jalur kontak manusia dengan patogen terutama yang penularannya lewat air. Shigella adalah contoh penyebab diare yang paling sering kejadiannya selama La Nina.
Kelima, fenomena cuaca meningkatkan kecelakaan di jalan raya. Curah hujan yang tinggi dapat mengganggu jarak pandang, kondisi jalan lebih licin dan menurunnya konsentrasi pengguna jalan atau pengendara. Saat ini, sekitar 40 persen-70 persen kecelakaan di jalan terjadi selama kondisi hujan (NHTSA, 2020).
Lantas kita bisa apa?
Sensitif dan adaptif
Sulitnya menebak gejolak cuaca dan iklim saat ini memaksa kita untuk ekstra hati-hati. Menurut penulis, upaya melindungi masyarakat dari ancaman keselamatan dan serangan wabah penyakit akibat La Nina harus lebih sensitif dan adaptif.
Sensitif berarti, kita memberikan perhatian lebih kepada kelompok rentan sekaligus pada penyakit yang sensitif terhadap fenomena cuaca dan iklim. Sedangkan adaptif lebih kepada tindakan kewaspadaan secara berlapis mulai dari tingkat individu, keluarga, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat.
Tindakan berlapis pertama adalah meminimalisir jalur kontak kelompok rentan dengan sumber atau potensi bahaya. Anak usia sekolah misalnya, lebih rentan terkena diare selama La Nina karena lebih sering bermain di luar rumah dan tanpa pengawasan. Selain anak, orang dewasa seperti pekerja lapangan lebih rentan kontak dengan vektor pembawa penyakit yang marak bermunculan ketika hujan.
Upaya ini bisa dilakukan melalui kegiatan fasilitasi agar mereka sanggup beradaptasi dengan fenomena La Nina. Misalnya mengaktifkan kembali kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah sebagai wahana literasi siswa tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Upaya melindungi masyarakat dari ancaman keselamatan dan serangan wabah penyakit akibat La Nina harus lebih sensitif dan adaptif.
Kedua, memperkokoh respon sistem kesehatan sehingga ancaman kematian dan penularan penyakit selama La Nina bisa terkendali. Ini penting karena, sampai sekarang sistem pelaporan dan deteksi penyakit kita masih menjadi pekerjaan rumah. Sebagai contoh, masih ada masyarakat yang enggan berobat atau melaporkan kasus penyakit.
Selain itu, kapasitas sistem kesehatan yang berbeda antarwilayah di Indonesia seperti terbatasnya laboratorium rujukan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan turut menyumbang keterlambatan skrining dan ketidaksesuaian data penyakit yang dilaporkan dengan yang benar-benar terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan inovasi dan koordinasi berkelanjutan untuk meminimalisir keterlambatan melakukan kewaspadaan dini.
Ketiga, merevitalisasi sistem respon berbasis masyarakat agar lebih sensitif dan adaptif terhadap dinamika penyakit melalui komunikasi risiko. Misalnya memberi informasi kepada masyarakat tentang penyakit apa saja yang sering muncul ketika terjadi La Nina.
Pesan yang dibuat harus mempertimbangkan latar belakang sasaran dan tidak menimbulkan kepanikan. Meskipun terlihat remeh, tetapi strategi ini efektif meningkatkan literasi masyarakat sehingga mereka mampu mengenali potensi bahaya dan jadi waspada.
Penguatan dari sisi lain seperti memasifkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk terutama di wilayah langganan banjir, rajin cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, rutin berolahraga, makan makanan bergizi, dan mengutamakan keselamatan selama berkendara atau berada di jalan, juga sangat relevan saat ini.
Dengan demikian, tak menentunya fenomena La Nina menyiratkan bahwa ekosindemi dapat terjadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan proteksi melalui tindakan berlapis secara konsisten.
Hal ini harus diperkuat dengan kolaborasi lintas sektor serta campur tangan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat secara berkelanjutan. Kita tentu yakin, pemerintah punya terobosan istimewa dalam menyikapi ancaman ekosindemi akibat La Nina yang kian menguat!
#https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/14/la-nina-dan-ancaman-ekosindemi