Meski disebut tak seganas varian-varian sebelumnya, subvarian Omicron tetap perlu diwaspadai. Sekarang adalah waktu yang pas untuk melakukan proteksi ekstra lewat kombinasi vaksin ”booster” dan ”vaksin sosial”.
Berita Kompas, 16 Juni 2022, tentang subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 dan prediksi puncak kasusnya mencapai 20.000 per hari semakin menambah episode drama korona di Indonesia. Korona sepertinya tidak kehabisan akal untuk eksis dalam era new normal.
Walaupun tidak seheboh saat awal kemunculannya, fenomena timbul tenggelamnya korona jangan sedikit pun membuat kita lengah. Sebab, masuknya dua subvarian ke negara kita terbilang cepat, sementara informasi spesifik tentang keganasan mereka masih dalam penyelidikan. Lalu, apa saja informasi yang bisa kita petik dari fenomena Omicron sejauh ini?
Jejak Omicron
Informasi tentang keganasan subvarian Omicron sampai sekarang cukup memberi rasa tenang bagi masyarakat. Namun, menurut penulis, informasi yang beredar masih sebatas jawaban sementara. Berbahaya atau tidaknya dua subvarian baru harus ditakar lebih komprehensif mengikuti perkembangan bukti ilmiah terkini. Untuk itu, mari kita cermati konteks jejak Omicron sejauh ini.
Pertama, keganasan subvarian baru bisa ditakar dari kondisi kekebalan baik individu maupun masyarakat atau herd immunity. Kekebalan bisa didapatkan lewat vaksinasi ataupun setelah sembuh dari infeksi korona.
Temuan riset terhadap empat jenis vaksin yang berbeda di beberapa negara mengatakan, vaksin efektif mengurangi jumlah pasien Covid-19 yang masuk rumah sakit hingga 80 persen. Ini termasuk juga untuk pasien dengan konfirmasi subvarian BA.4 dan BA.5.
Namun, keampuhan vaksin untuk melindungi tubuh dari korona tidak semata-mata karena jenis dan dosis vaksinnya. Vaksin akan jauh lebih efektif melindungi apabila semakin banyak penduduk yang telah divaksin. Bahkan terbukti bisa memberikan perlindungan optimal apabila cakupan vaksinasi masyarakat menembus 93 persen atau lebih (Liu dkk, 2021; GAVI, 2022).
Kedua, kemampuan menular. Jika dibandingkan dengan Delta, beberapa subvarian Omicron lebih gampang menular terutama di dalam rumah dan tempat padat densitas seperti perkantoran. Akibatnya, ketika kita kontak erat dengan penderita, maka peluang terjangkit korona sangat terbuka.
Infeksi sekunder subvarian Omicron juga bisa mencapai 22 persen, jauh lebih besar dari Delta (10,7 persen). Selain itu, subvarian Omicron sering menyebabkan seseorang yang telah sembuh terinfeksi kembali (reinfection). Ini bisa dimaklumi karena memang reproduction number (R0) Omicron rata-rata 5,08 (Leung, 2022).
Meskipun angka R0 bervariasi antarnegara, tetapi indikasinya jelas, subvarian baru lebih gesit menginfeksi. Kondisi ini bisa semakin buruk manakala banyak dari kita yang masih suka berkerumun dan mengabaikan protokol kesehatan.
Ketiga, fleksibilitas pelayanan dan perlindungan kelompok rentan. Dalam kondisi krisis, fleksibilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk menjamin perawatan kesehatan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Walaupun riset menemukan penderita Omicron memiliki risiko rawat inap hanya sekitar 1,2 persen dibandingkan dengan Delta (1,5 persen), tetapi risiko keseluruhan terkait dengan Omicron jangan dianggap enteng. Sebab, munculnya subvarian BA.4 dan BA.5 membuktikan Omicron memiliki pertumbuhan lebih signifikan.
Meskipun tidak menimbulkan gejala berat, kita harus ekstra waspada. Penelitian terbaru di Jepang mengindikasikan subvarian baru lebih banyak bereplikasi di paru-paru (Kimura dkk, 2022).
Agar tidak ada korban berjatuhan, maka fleksibilitas pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Fungsinya untuk menjangkau mereka yang secara kesehatan lebih rentan, misalnya warga lansia dan penderita komorbid yang mungkin akan lebih terancam ketika menderita Covid-19.
Keempat, konsistensi menjalankan prokes. Seperti yang sudah diketahui, korona menular lewat berbagai cara. Hasil riset terbaru mengatakan bahwa kemampuan menular lewat aerosol dan stabilitas bertahan di permukaan benda yang lebih lama semakin membuat korona gampang berpindah dari orang ke orang (CDC, 2022). Apabila kita tidak becus menjalankan prokes selama gelombang subvarian baru, bukan mustahil akan menambah kluster baru Covid-19.
Kelima, kualitas literasi kesehatan masyarakat. Sejak tahun 2000-an, popularitas media sosial dan online telah mengubah cara orang Indonesia memburu informasi. Sekitar 74 persen masyarakat Indonesia saat ini aktif memakai internet dengan berbagai keperluan. Namun, ironisnya tingginya jumlah pemakai internet tidak sama tingginya dengan tingkat literasi digital.
Meskipun sudah terlihat upaya nyata dari pemerintah, makin ke sini terkesan makin senyap gaungnya. Jika kita tidak giat melawan momok berita bohong tentang korona di tengah pusaran subvarian baru, fokus kita akan terbagi. Dengan demikian, kita akan butuh lebih banyak energi dan sumber daya untuk memerangi kabar hoaks seputar korona. Lalu, apa langkah kita selanjutnya?
Perlindungan ekstra
Hingga kini, kita layak memberi aplaus bagi pemerintah yang tak kenal lelah dan selalu sigap mengurus pandemi. Namun, mencuatnya subvarian BA.4 dan BA.5 di Indonesia dengan prediksi jumlah kasus terus meninggi butuh perlindungan ekstra dari kita semua. Gejolak korona menyiratkan bahwa semua celah penularan yang sebelumnya berhasil kita tutup sekarang telah jebol lantaran kendurnya konsistensi prokes kita.
Oleh sebab itu, sekarang adalah waktu yang pas untuk melakukan proteksi ekstra lewat kombinasi vaksin booster dan ”vaksin sosial”. Reminder dan penguatan literasi masyarakat tentang korona dan subvariannya ibarat vaksin sosial yang sama faedahnya dengan vaksin booster menangkis korona.
Vaksin sosial bisa duwujudkan dalam beberapa cara. Pertama, menstimulasi kembali aksi promosi waspada Covid-19 di lingkungan kita. Tujuannya agar orang sekitar kita lebih memahami informasi subvarian dan lebih waspada. Selain itu, upaya ini juga mendorong masyarakat untuk mempraktikkan anjuran pencegahan dan pengobatan yang disampaikan pemerintah. Intinya sebisa mungkin kita menghimpit korona agar tidak leluasa.
Kedua, memberi booster untuk meningkatkan kembali kepatuhan prokes. Booster ini berfungsi memicu kemauan secara sadar (willingness) yang sebelumnya sempat loyo agar kembali bergairah untuk tertib prokes dimanapun kita berada secara konsisten. Ini penting karena walaupun vaksinasi dosis kedua kita telah mencapai 80,72 persen (Kompas, 13 Juni 2022), faktor perilaku dan lingkungan juga memiliki andil dalam penyebaran korona.
Ketiga, ”menyuntik” booster untuk menaikan animo kewaspadaan bersama mulai dari keluarga, sekolah, kampus, perkantoran, tempat kerja, dan tempat-tempat umum. Konkretnya, misalnya sebelum mulai kerja atau pembelajaran selalu diawali dengan pengarahan atau briefing update kondisi korona di daerah kita. Di sini perlu kehati-hatian agar pesan yang disampaikan tidak terkesan menakut-nakuti.
Dengan demikian, komitmen menjalankan vaksin booster tambahan dibarengi vaksin sosial secara paralel saat ini adalah mendesak. Sembari pemerintah menggencarkan vaksin booster, masyarakat bisa menjadi pelopor gerakan vaksin sosial di mana pun berada.
Pada akhirnya perlindungan ekstra ini menjadi modal besar gerakan kesehatan masyarakat kita sekaligus booster untuk berhadap-hadapan dengan korona beserta kroni-kroninya yang mungkin sudah menunggu kita di depan. Salam sehat.