Oleh: dr Indra Adi Susianto MSi Med SpOG, dekan Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranata dan berpraktik di RSIA Anugerah Semarang.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin saat konferensi pers virtual, Kamis (2/6/ 2022) menyebut mendapat banyak keluhan dari para dokter muda yang mengaku sulit mendapat rekomendasi dari dokter senior untuk mengambil spesialis. Serius mengatasi masalah ini, Menkes meminta laporan setiap pekan dari tim di Kementerian Kesehatan terkait tindak lanjut dari laporan keluhan yang sudah masuk dan tercatat. Dan menanggapai hal tersebut, Ketua IDI Kota Semarang, dr Elang Sumambar menyatakan akan memberikan peringatan dan sanksi kepada dokter senior jika terbukti mempersulit juniornya.
DUNIA kedokteran tidak lepas dari sorotan. Pada tahun 2013, anggota Komisi IX DPR RI, Surya Chandra, pernah mengkri-tisi sistem pendidikan kedokteran di Indonesia yang disebut sangat feodalis dan menindas sehingga dibutuhkan perubahan yang sistematis. Surya menyesalkan kurangnya komunikasi antar kalangan dokter.
Apa yang diungkapkan Surya Chandra, pengakuan dokter muda yang merasa dirundung serta keluhan dokter yang akan mengambil spesialis namun dipersulit di atas seperti membenarkan anggapan bahwa di dunia kedokteran dan sistem pendidikannya, tak ada perubahan. Karena feodalisme, penindasan, stratifikasi atau semacam kasta, tetap tumbuh subur meski era berganti. Dokter umum misalnya sampai saat ini masih dianggap sebagai kasta terendah. Sementara dokter spesialis dan subspesialis, dianggap memiliki kasta lebih tinggi. Mahasiswa kedokteran, dokter koas, dokter muda dianggap tidak lebih tinggi kastanya dari dokter senior.
Tetap Diperlukan
Sembilan tahun kemudian, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin saat konferensi pers virtual, Kamis (2/6/2022) menyebut mendapat banyak keluhan dari para dokter muda yang mengaku sulit mendapat rekomendasi dari dokter senior untuk mengambil spesialis. Serius mengatasi masalah ini, Menkes meminta laporan setiap pekan dari tim di Kementerian Kesehatan terkait tindak lanjut dari laporan keluhan yang sudah masuk dan tercatat. Dan menanggapai hal tersebut, Ketua IDI Kota Semarang, dr Elang Sumambar menyatakan akan memberikan peringatan dan sanksi kepada dokter senior jika terbukti mempersulit juniornya.
Benarkah dunia kedokteran dan sistem pendidikannya di Indonesia masih menganut sistem feodalis dan senioritas? Menurut hemat saya, senioritas telah menjadi salah satu “trademark” kedokteran hampir di seluruh dunia. Tentu saja senioritas di sini tidak seperti yang terjadi di salah satu sekolah tinggi kedinasan di mana senior harus membuat juniornya babak belur terlebih dahulu untuk mendapatkan penghormatan. Kita harus bijak memandang dan mengurai tentang feodalisme dan senioritas yang disebut tumbuh subur di dunia kedokteran dan pendidikan kedokteran.
Penulis yang telah berkecimpung di dunia kedokteran selama 20 tahun, melayani pasien dan mengajar melihat bahwa “feodalisme” dan “senioritas” memang harus diterapkan. Dokter, akan melayani pasien, sehingga membutuhkan kedisiplinan dan kemampuan tinggi serta presisi.
Untuk bisa mencapai tingkat itu, dibutuhkan pendidikan yang “keras” agar dapat membentuk seorang dokter yang benar-benar kompeten di bidangnya.
Itulah mengapa masalah senioritas dalam pendidikan kedokteran menjadi sangat kental, bagi mereka yang tak terbiasa bekerja dengan tekanan tinggi bisa saja stres menghadapinya dan ujung-ujungnya, “merasa” sedang digojlok, dirundung, dan dipersulit.
Menjadi dokter memang bukan perkara gampang, butuh hati yang tulus, perjuangan dan memeras banyak keringat. Mereka membutuhkan pelatihan karena ada pengetahuan dan keterampilan yang harus dilatihkan langsung sejak “skill lab” sebelum menangani pasien, tidak bisa hanya diceramahkan dalam bentuk teori lewat kuliah.
Dibutuhkan kemandirian dan tekat yang kuat, jika nanti praktik menangani kasus pasien di tempat yang punya keterbatasan sarana prasarana dan kearifan lokal yang sangat dipercaya masyarakat. Jadi, selain keilmuannya diasah, kepribadian dan mental dokter juga harus ditempa keras baik dari sisi keilmuan maupun kepekaan. Mereka membutuhkan training dari orang yang punya pengetahuan dan pengalaman lebih, mereka inilah yang biasa kita sebut “senior”.
Tidak hanya di Fakultas Kedokteran dan dunia kedokteran senioritas itu ada, karena itu saya pahami bahwa senioritas adalah sebuah proses penghargaan kepada sesama manusia dan “respect” pada yang lain. Sederhana, jika mereka tak bisa memberikan penghargaan kepada sesamanya, bagaimana bisa mereka menghormati pasien?
Selain itu, secerdas dan sejenius apa pun calon dokter tak pernah yang bisa menjadi dokter atau dokter spesialis hanya dengan membaca buku. Seorang mahasiswa kedokteran, residen dalam perjalanannya selalu butuh interaksi dengan orang yang telah lebih dahulu belajar ilmu kedokteran. Artinya, apa yang kita miliki hari ini sebagai dokter adalah sumbangsih dari orang yang pernah menjadi guru kita, senior kita. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk tidak memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka secara wajar dan pantas.
Kode Etik
Hal lain lagi, salah satu poin penting dalam kode etik dokter adalah menghormati rekan sejawat dan tidak semua orang bisa dengan baik menerima keadaan ini. Hal itu tercermin di mana ada rumah sakit yang terpaksa mengembalikan salah satu dokter ke kampus karena berlaku curang pada pasien. Jadi, “feodalisme” dan “senio-ritas” masih diperlukan dalam rel untuk mendidik karena yang dihargai adalah keilmuan dan pengalaman yang dimiliki senior. Di sini, mahasiswa dan dokter jun-ior hams memahami makna “feodalisme dan “senioritas”. Apa pun metodenya, yang terpenting ialah tidak menyimpang dari garis orbit.
Feodalisme dan senioritas adalah jalan untuk membimbing bukannya mengeksploitasi tanpa batas tanpa memaksakan segala kehendak atau mengindoktrinasi sang junior seolah mereka tak punya pikiran dan kepala. Jika ada ketidak sepahaman dengan senior, semuanya harus dibicarakan dengan cara yang baik dan santun berdasarkan keilmuan dan pustaka yang terbaru sehingga tidak ada yang merasa terkurangi kehormatannya.
Menjadi senior berarti menjadi teladan, dan senioritas berarti menunjukkan keteladanan yang dapat menanamkan nilai-nilai positif. Hal ini bisa diterjemahkan dengan menanamkan kedisiplinan dengan tanpa hukuman, bentakan atau bahkan kekerasan. Untuk menghindari arogansi maka senioritas harus berlandaskan pada aturan atau etika dunia kedokteran, sehingga tidak ada perundungan yang berdampak pada kekerdilan berpikir, pelecehan etika dan moral, ‘mematikan kreativitas, menumbuhkan dendam, meruntuhkan motivasi dan dampak lain. Maju terus dokter Indonesia!
#Suara Merdeka 22 Juli 2022 hal. 4