SEMARANG (KRjogja)– Rencana penerbitan Peraturan Presiden oleh Presiden Jokowi mengenai anti risak atau perundungan (bullying) di sekolah, patut disambut baik mengingat angka terjadinya kekerasan atau bullying di sekolah semakin meningkat.
“Data dari KPAI menunjukkan kekerasan anak di sekolah meningkat 4% dari tahun 2014 ke tahun 2015 sebanyak 461 kasus menjadi 478 kasus. Selanjutnya, anak sekolah yang menjadi pelaku perundungan juga meningkat 39% di tahun 2015.
Hal ini merupakan kenyataan yang menyedihkan karena pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat ternyata tidak mampu mencegah berulangnya kasus kekerasan, perundungan/bullying di sekolah mengingat tindakan-tindakan yang demikian merupakan pelanggaran hak asasi anak yang telah dilindungi oleh UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diperbaharui melalui UU nomor 35 tahun 2014” ujar Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang Rika Saraswati SH.CN MHum, PhD. kepada pers di kampus setempat Sabtu (30/01/2016).
Menurut Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Unika Soegijapranata ini, baru-baru ini menteri pendidikan dan kebudayaan telah mengeluarkan peraturan menteri tentang anti bullying dalam kegiatan masa orientasi siswa baru melalui Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 dan Surat Edaran Nomor 59389/MPK/PD/2015.
Isinya, memberikan peringatan bahwa Masa orientasi peserta didik (MPOD) atau siswa baru bertujuan untuk mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri peserta didik, dan kepramukaan sebagai pembinaan awal ke arah terbentuknya kultur sekolah yang kondusif bagi proses pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Pelaksanaan kegiatan masa orientasi tersebut harus bersifat edukatif dan kreatif, dan tidak mengarah kepada kegiatan yang bersifat destruktif yang merugikan siswa baru baik secara fisik maupun psikologis.
“Dengan Permendikbud tersebut, maka pemerintah telah memberikan kebebasan kepada setiap sekolah untuk mengadakan kegiatan MPOD sepanjang tidak mengarah atau mengandung tindakan kekerasan, pelecehan atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar sekolah.
Tetapi, dalam pelaksanaanya masih sering terjadi bentuk-bentuk kekerasan atau bullying dalam kegiatan masa orientasi peserta didik tersebut. Kekerasan dalam kegiatan MOS/MOPD tersebut yang pada akhirnya memicu terjadinya bullying yang berkelanjutan di suatu sekolah” ujar Rika Saraswati SH.CN MHum, PhD.
Hal yang perlu ditindaklanjuti dari dikeluarkannya Peraturan Presiden, ujar Rika Saraswati, adalah petunjuk pelaksanaannya agar pihak pemerintah pusat dan daerah, khususnya dinas pendidikan di setiap daerah mampu melaksanakannya.
Untuk itu dibutuhkan perangkat tata tertib sekolah tentang anti bullying dan upaya penyelesaiannya. Apabila tidak ada peraturan tata tertib sekolah yang konkrit yang diketahui oleh pihak siswa, orangtua dan sekolah maka pihak sekolah sebagai pelaksana harian akan mengalami kesulitan karena belum ada pedoman konkritnya.
“Saat ini, upaya untuk membantu pemerintah dalam mencegah terjadinya bullying sudah dilakukan peneliti dari Prodi Ilmu Hukum FHK Unika Soegijapranata melalui penelitian tentang tata tertib sekolah. Penelitian ini menghasilkan sebuah model tentang tata tertib sekolah yang responsif anti bullying dan upaya penyelesaiannya.
Tata tertib ini dibuat melalui FGD dan workshop oleh guru dan siswa SMA di Kota Semarang. Tata tertib ini akan menjadi pilot projek di beberapa SMA untuk penelitian lebih lanjut. Saat ini tim peneliti Unika menunggu rekomendasi Dinas Pendidikan Kota Semarang untuk menerapkan model tata tertib tersebut, sehingga nantinya bisa diterapkan ke semua sekolah di Kota Semarang khususnya dan tingkat nasional pada umumnya” tandas Rika Saraswati. (Sgi)
sumber : krjogja.com