“Kejujuran seringkali sangat sulit. Kebenaran seringkali menyakitkan. Tetapi kebebasan yang dapat dibawanya layak untuk dicoba.” – Fred Rogers –
Perkembangan masyarakat dan teknologi saat ini diikuti dengan berbagai kejahatan yang semakin terorganisir (extra ordinary crime). Kondisi ini memaksa Aparat Penegak Hukum membuka jalan yang seolah buntu dengan berbagai cara. Aparat Penegak Hukum dituntut untuk melakukan upaya-upaya baru dalam penggalian informasi dan membuktikan extra ordinary crime. Sistem Peradilan Pidana yang diharapkan mampu berjalan seirama dengan perkembangan kejahatan nyatanya seringkali terlambat dan tidak siap dalam menghadapi laju kejahatan. Disinilah peran penting Justice Collaborator dalam mengisi kekosongan Sistem Peradilan Pidana.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators), Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana tertentu yang mengakui kejahatan, bukan pelaku utama, dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan. Justice Collaborator berdasarkan SEMA ini juga dituntut untuk memberikan keterangan, bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat membantu Penuntut Umum dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi.
Peranan Justice Collaborator sangat penting dalam mengungkap peristiwa tindak pidana. Di Indonesia, beberapa kasus yang telah terungkap dengan bantuan Justice Collaborator yakni kasus Djoko Tjandra, kasus penggelapan pajak Asian Agri Group, kasus korupsi pengadaan e-KTP, dan kasus yang masih hangat diperbincangkan adalah kasus kematian Bharada J dengan Brigadir E sebagai Justice Collaborator-nya.
Mengingat besarnya sumbangsih yang diberikan oleh Justice Collaborator maka diperlukan perlindungan yang optimal terhadap hak-hak dari Justice Collaborator. Justice collaborator berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum penanganan secara khusus, dan penghargaan atas bantuannya. Perlindungan terhadap Justice Collaborator tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berisi sebagai berikut:
“(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik. (2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sementara Pasal 10A UU LPSK berisi sebagai berikut:
“ (1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. (3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keringanan penjatuhan pidana; atau b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana. (4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. (5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.”
Berdasarkan Pasal 10 dan 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang kini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan pidana percobaan bersyarat dan atau pidana penjara paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat. Itulah mengapa Bharada E yang terbukti bersalah dan melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J mendapatkan vonis yang cukup ringan yakni 1 tahun 6 bulan. [Emilia Metta Karunia Wijaya, Akademisi Program Studi Ilmu Hukum]