DETIK-detik menuju pergantian tahun baru 2016 dibarengi dengan mulai diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di seantero negara anggota ASEAN, sebagai bagian kepatuhan komitmen yang sudah disepakati sebelumnya. Karakteristik MEA akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang sangat kompetitif, memiliki wilayah pembangunan ekonomi yang merata, daerah-daerah akan terintegrasi secara penuh dalam ekonomi global, serta basis dan pasar produksi tunggal.
Komitmen bersama ini akan menjadikan kawasan negara-negara yang tergabung dalam masyarakat MEA memiliki situasi sebagai berikut: adanya aliran bebas barang, aliran bebas jasa, aliran modal lebih bebas, dan aliran bebas tenaga kerja terampil.
Indonesia sebagai negara terluas dan terbanyak penduduknya di kawasan ASEAN tidak serta merta akan merasakan keuntungan langsung dari komitmen pelaksanaan MEA ini, justru tantangan besar di depan mata tanpa mengurangi kewaspadaan akan semakin tingginya kompetisi di segala bidang. Begitu juga dengan persaingan pada usaha jamu. Sudah lama negara ini dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam dan rempah yang luar biasa, dan warisan leluhur yang tak ternilai harganya dengan produk jamu sebagai penjaga budaya dan tradisi bangsa.
Jamu dipandang sebagai penggerak ekonomi kerakyatan yang melibatkan sekitar 10 juta masyarakat Indonesia yang tercatat terlibat dalam usaha perdagangan jamu mulai dari produsen, pedagang, penyedia bahan baku dan tenaga kerja yang terlibat di dalam industri jamu ini. Tidak salah sampai pada akhirnya kepala negara Presiden Jokowi sampai menegaskan para pelaku usaha jamu untuk berjuang keras memposisikan jamu sebagai produk unggulan bangsa dan tidak memberikan kesempatan negara lain mengklaim jamu sebagai produk mereka. Lalu bagaimana para pengusaha jamu menyikapi situasi persaingan dan tuntutan kekepatuhan pelaksanaan MEA?
Penulis telah melakukan serangkaian pendalaman materi di lapangan sebagai bagian dari riset mengenai orientasi kewirausahaan pelaku industri jamu di Jawa Tengah dalam menjawab tantangan iklim bisnis jamu dewasa ini, termasuk di dalamnya MEA. Beberapa usaha skala besar memberikan respon berkaitan dengan situasi terkini, ada perusahaan yang telah siap menghadapi MEA dengan mengusahakan diperolehnya sertifikat Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Dengan CPOB ini pula, lisensi pembuatan jamu perusahaan tersebut disejajarkan dengan lisensi produk-produk industri farmasi sehingga bisa dikatakan, ini menjadi kunci upaya strategik menghadapi persaingan global dengan melayani konsumen di berbagai negara dan benua lainnya (Eropa dan Amerika). Kekuatan rantai bisnis dari hulu ke hilir, dengan mengacu pada konsep industri farmasi, pabrik-pabrik didesain dengan fungsi masing-masing: pabrik bahan baku, pabrik untuk produksi berbagai sediaan, hingga ke jaringan ditributor lokal sejumlah produk untuk mendukung efisiensi proses penghantaran produk ke konsumen akhir.
Beberapa perusahaan besar industri jamu di Jawa Tengah telah berhasil melewati transisi antar generasi, dari generasi pendiri, generasi anak sampai generasi ketiga dan keempat, dan keberanian memasuki pasar modal dan menjadi perusahaan jamu yang berawal dari bisnis keluarga di Indonesia yang memasuki pasar bursa (go public), sebagai bentuk upaya menghadirkan perusahaan yang lebih profesional sesuai dengan koncep GCG (good corporate governance). Kesiapan lain dari beberapa pengusaha jamu di Jawa Tengah menghadapi pasar MEA disikapi dengan upaya mendapatkan sertifikat eco-friendly product sebagai bagian pemenuhan syarat masuk ke beberapa negara tujuan ekspor.
Selain itu perhatian pada rantai pasokan yang diperoleh perusahaan dengan menjadi pembina gabungan kelompok tani (gapoktan) penyedia bahan baku jamu perlu diapresiasi. Kemandirian pengusaha jamu mengupayakan ketersediaan bahan baku menjadikan sebagian dari pengusaha jamu sigap memberdayakan petani menjadi mitra pengusaha. Kelompok tani binaan yang tersebar dari berbagai daerah sebagai pemasok di pabrik bahan baku. Sebaran kelompok tani berada di Semarang, Karanganyar, Boyolali, Banyumas, Kendal, Magelang, Wonogiri, dan Blora, ini menjadi tambahan kekuatan bagi perusahaan yang bersiap mendapatkan posisi unggul dalam persaingan global.
Berbagai masalah yang dihadapi pengusaha jamu masihlah banyak, untuk menyebut di antaranya adalah tantangan membina gapoktan penyedia bahan baku adalah semakin terbatasnya lahan untuk tanam dan semakin terdesak untuk kebutuhan pembangunan properti dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat. Berikutnya adalah tingginya biaya untuk uji klinis produk sebagai syarat diterimanya produk untuk orientasi ekspor dan memenuhi kebutuhan bahan baku bagi perusahaan jamu lainnya. Kehadiran dan peran pemerintah sangatlah dibutuhkan. Pemerintah diharap segera mampu mengatasi pelbagai tantangan industri jamu, di antaranya adalah penegakan hukum bagi produsen jamu ilegal baik dari skala industri rumah tangga sampai usaha besar.
Beredarnya jamu ilegal di masyarakat akan memperburuk citra jamu secara umum dan mengurangi motivasi masyarakat menjadikan jamu sebagai pilihan produk yang diminati. Kebanggaan memakai dan memilih jamu buatan Indonesia akan menjadi penggerak kuat positioning jamu dalam persaingan usaha. Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus melakukan pengawasan ketat dalam mencegah masuknya jamu-jamu dari luar yang memakai bahan kimia sehingga berdampak merugikan masyarakat konsumennya.
BPOM juga perlu membantu pengusaha jamu Indonesia berbagai skala untuk memenuhi persyaratan good manufacturing practice (GMP) sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan standar produk memasuki pasar global. Hal ini penting mengingat banyak negara yang memproteksi diri dari masuknya produk jamu yang tidak lolos GMP sebagai upaya melindungi warganya dari produk yang tidak bisa dipertanggujawabkan mutunya. Tugas pemerintah yang tidak kalah penting adalah mengkondusifkan iklim usaha dan peningkatan investasi bagi industri jamu agar semakin tinggi kemampuan dalam menembus pasar ekspor. Semoga jamu sebagai produk pewaris budaya dan identitas bangsa tetaplah bisa kita jaga. (*)
Oleh:
Berta Bekti Retnawati
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata
Tautan : http://www.radarsemarang.com/