(TRIBUNJATENG), SEMARANG — Adanya penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diberlakukan secara resmi mulai 1 April 2016, hal itu tidak akan berdampak pada penurunan tarif angkutan umum. Meskipun, secara resmi Presiden Joko Widodo telah meminta adanya penurunan harga BBM harus diikuti penurunan tarif angkutan umum.
Pakar Transportasi yang juga peneliti pada LaboratoriumTransportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, banyak faktor yang menjadi acuan dalam penetapan tarif angkutan umum. Satu diantaranya yang paling menonjol yaitu karena faktor besaran biaya operasional kendaraan (BOK).
"Penurunan harga BBM nantinya tidak akan diikuti adanya penurunan tarif angkutan. Bukan serta merta adanya penurunan harga BBM, tarif langsung diturunkan. Tetapi, dilihat juga besaran biaya operasionalnya," kata Djoko kepada Tribun Jateng melalui pesan Whatsapp, Kamis (31/3/2016).
Djoko menuturkan, kesimpulan tersebut diperoleh dengan alasan selama ini perhitungan BOK sebagai dasar penetapan tarif angkutan didasarkan pada formulasi lama. Yaitu Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 89 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formula Perhitungan Biaya Pokok Angkutan Penumpang dengan Mobil Bus Umum Antar Kota Kelas Ekonomi.
Serta, Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat No. SK. 687/AJ.206/DRJD/2002 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan dalam Trayek Tetap dan Teratur.
"Dengan menggunakan formula lama, BOK untuk bus besar Rp 147,61 per seat kilometer. Namun apabila hitungan dengan usulan revisi sudah mencapai Rp 352,97 per seat kilometer. Naik dua kali lipat lebih, di atas 100 persen," ujarnya.
Menurut Djoko, formula yang lama tersebut harus segera direvisi karena tidak mengakomodir kondisi terkini. Seperti, belum memasukkan perhitungan kilometer kosong layanan kendaraan dari terminal ke garasi (pool–red), penetapan gaji awak bus sesuai dengan angka hidup layak berkaitan peranannya dalam memberikan pelayanan dan keselamatan di jalan, dan dibedakan besarannya sesuai dengan tingkat kompetensinya serta UMK daerah.
Selain itu, juga menetapkan usia efektif kendaraan. Jika ke depan usia efektif kendaraan dibatasi 5 tahun, maka biaya overhaul bus tidak diperlukan. Hal itu karena BOK untuk bus sedang dan bus kecil nilainya lebih tinggi.
Tidak hanya itu saja, katanya, perlu juga memasukkan komponen biaya pengelolaan berbadan hukun yang terdapat beban pajak seperti pajak pendapatan dan pajak badan yang belum dimasukkan dalam perhitungan. Ditambah biaya lain- lain yang besarannya tidak lebih dari 15 persen.
Sementara, tingkat keterisian (okupansi) yang digunakan dalam perhitungan sebesar 70 persen dan beberapa hasil survei didapatkan okupansi rata-rata saat ini kurang dari 70 persen. Ditambah lagi, beban operator yang cukup berat karena menghadapi beragam pungutan liar (pungli) di daerah.
"Oleh karena itu, dengan turunnya BBM dan menghitungnya dengan formula lama sangat tidak menguntungkan operasional transportasi umum. Meski komponen BBM kisaran 30-40 persen," jelasnya.
Lebih lanjut Djoko menuturkan, sangat diperlukan peran pemerintah dalam menciptakan keseimbangan antara BOK dan daya beli masyarakat sebagai upaya untuk menciptakan transportasi yang efisien dan efektif. Revisi terhadap formula BOK harus dilakukan untuk memberikan besaran tarif angkutan yang manusiawi yang berujung pada peningkatan layanan.
Dengn tarif yang sekarang, kata Djoko, angkutan umum sudah diambang jurang kepunahan. Apalagi jika tarif angkutan diturunkan. Hal itu pun tidak menjamin akan adanya peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
"Jika masih dengan formula lama, kemudian ditambah ketidakpedulian kepala daerah terhadap angkutan umum, kebijakan sepeda motor yang juga tidak diubah, maka jangan harap dengan turunnya harga BBM akan diikuti penurunan tarif angkutan umum. Intervensi pemerintah wajib dilakukan untuk mempertahankan angkutan umum sebagai sarana mobilitas warga masa kini dan masa depan," tandasnya. (*)
Tautan : http://jateng.tribunnews.com