SEMARANG– Kasus sengketa aset di Kebonharjo, Semarang Utara adalah hasil kelalaian pemerintah provinsi maupun pemerintah kota. Sebab sebagai aset negara yang diperoleh sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanah tersebut kini bisa terambil alih oleh pihak yang tidak berhak.
Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Yovita Indrayati menilai, warga Kebonharjo dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai BUMN yang ditugasi pemerintah menjadi operator sarana transportasi, merupakan korban salah urus aset negara. Seharusnya pemerintah provinsi dan kota ikut bertanggung jawab atas aset negara yang dikuasakan pada PT KAI ini, tidak hanya membebankan pada BUMN tersebut semata. “Jika sampai aset negara dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak seharusnya, itu berarti pemerintah salah manajemen.
Disinilah semestinya ada peran pemerintah ikut menjaga aset negara. Namun faktanya dalam kasus Kebonharjo, pemerintah provinsi dan pemerintah kota justru menyalahkan PT KAI. Ada apa ini?” tandasnya.
Karena itu, jika 3.600 sertifikat hak milik yang saat ini dimiliki warga Kebonharjo yang menduduki tanah seluas 21 hektare dinyatakan ilegal, hal itu bisa dimungkinkan benar. Sebab tanah tersebut adalah aset negara yang dikuasakan kepada PTKAI dengan status Groundkart No W17286 B. “Jika masih jadi aset negara, ada daftarnya di Kementerian Keuangan atau kementerian teknis dalam hal ini Kementerian Perhubungan,” paparnya.
Dinasionalisasi
Groundkart atau sertifikat tanah pada masa penjajahan Belanda, yang dimiliki oleh Belanda, adalah hasil jual beli yang sah antara Belanda dengan pemilik tanah pada masa itu. Peraturan pada masa itu disebut Staatsblad, kemudian di era kemerdekaan dikonversi atau dinasionalisasi menjadi UU Pokok Agraria.
UU ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mencantumkan hak pakai dan hak mengelola. Saat ini, masalah aset negara diatur dalam PP No 27/2014. “Jadi siapapun yang mengambil alih aset negara secara tidak sah, patut diduga menimbulkan kerugian negara. Ini artinya ada tindak pidana korupsi. Saya sarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan,” ujarnya.
Saat ini, masalah tanah Kebonharjo tidak sekadar masalah aset negara saja, namun sudah menyangkut kepentingan rakyat karena banyak warga yang meguasai tanah di sana. Kepentingan rakyat ini masuk dalam ranah tanggung jawab pemerintah provinsi dan kota.
Jika tanggung jawab ini dibebankan pada PT KAI yang hanya sebagai BUMN operator transportasi, maka peran pemerintah dipertanyakan. “Sudah bagus PT KAI masih mau memberikan uang bongkar. Sudah asetnya diduduki warga, sekarang harus memberi ganti rugi pada mereka yang menduduki tanahnya,” tandasnya.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah kota, pemerintah provinsi berkoordinasi dengan PT KAI untuk mengayomi warga, sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat.
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com