SEMARANG – Sebagian orang tua mungkin pernah menghadapi temper tantrum yang dialami anaknya. Menurut Dosen Psikologi Unika Soegijapranata Lita Widyo Hastuti menyatakan, temper tantrum (atau disingkat) tantrum merupakan ekspresi frustasi anak.
“Temper tantrum juga merupakan bentuk ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan kebutuhan secara verbal dengan disertai unsur marah serta ledakan emosional. Temper tantrum ini biasanya dialami oleh anak-anak usia 1-4 tahun, akibat tidak terpenuhinya keinginan mereka, atau hanya sekedar ingin untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya saja,” kata perempuan yang akrab disapa Lita dalam mini workshop “Temper tantrum, Siapa Takut?” yang digelar Pusat Psikologi Terapan (PPT) Unika Soegijapranata.
Menurutnya, anak dengan temper tantrum ditandai kecenderungan suka menangis, berteriak, mengomel sendiri, bahkan disertai dengan gerakan yang dapat menciderai dirinya sendiri seperti berguling-guling di lantai dan melempar barang. Hal ini sambungnya, disebabkan beberapa faktor.
“Dari sisi anak sebagai ungkapan protes anak kepada orang tua serta kegagalan untuk mengungkapkan secara verbal. Dari sisi orang tua, anak yang mengalami temper tantrum diakibatkan oleh perlakuan orang tua yang terlalu over protektif maupun permisif,” tuturnya.
Adanya permasalahan antara ayah dan ibu, mengakibatkan emosi anak menjadi tidak imbang. Dari faktor lingkungan juga mempengaruhi karena mungkin adanya persaingan dengan saudara kandung ataupun kebiasaan penerapan peraturan yang tidak konsisten.
Untuk menghindari atau mengurangi tingkat tantrum lanjutnya, anak dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan fisiknya terlebih dahulu. Kemudian pemberian contoh yang baik dari orang tua disertai dengan kemauan untuk mendengarkan suara anak.
“Ketika anak sedang berada dalam kondisi tanrum, sebaiknya orang tua jangan memberikan respon terlebih dahulu. Karena anak akan belajar jika dia menangis dan diberikan respon maka akan melakukan hal tersebut secara terus menerus,” jelas Lita.
Langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua setelah anak selesai mengalami tantrum, yaitu berupa pemberian pendekatan psikologi. “Seperti memeluk anak itu dan mengajak anak untuk berbicara mengenai sebab apa yang membuatnya berbuat hal tersebut,” papar Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Unika Soegijapranata itu.
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi