Oleh: DR Ferdinand Hindiarto SPsi, MSi., Rektor Unika Soegijapranata
SITUASI yang akan dihadapi para lulusan perguruan tinggi saat ini dan ke depan nanti digambarkan dalam empat kata yang dikenal dengan VUCA. Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiquity. Empat kata itu menarasikan dengan jelas sebuah situasi yang berubah dengan cepat, penuh dengan ketidakpastian, segala sesuatu bersifat kompleks dan multitafsir yang akan muncul terhadap sebuah fenomena.
Konsep VUCA telah lama dikemukakan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus dalam bukunya yang berjudul, Leaders: strategies for taking change (1985). Namun baru mulai tahun 2000-an topik tersebut semakin intens menjadi bahan diskusi dalam berbagai forum, munculnya banyak tulisan dan berbagai penelitian. Situasi pandemic covid-19 dalam hampir dua tahun terakhir ini semakin memperjelas dan memperkuat bahwa narasi itu benar adanya.
Bagaimana para lulusan harus menghadapi tantangan itu menjadi hal paling krusial. Oliver Mack dkk (2016) dalam bukunya yang berjudul Managing in a VUCA world, menyatakan bahwa kemampuan beradaptasi adalah salah satu kompetensi kunci dalam menghadapi situasi VUCA. Steven Boylan dan Kenneth Turner (2017), dalam artikelnya yang berjudul Developing organizational adaptability for complex environment menyatakan bahwa kemampuan beradaptasi harus dimiliki tidak hanya pada level individu, organisasi pun harus memiliki kemampuan beradaptasi tinggi dalam menghadapi situasi yang sangat kompleks dan penuh ketidakpastian ini.
Beradaptasi
Kemampuan beradaptasi individu sebagai salah satu kunci sukses dalam menghadapi situasi VUCA telah dikemukakan oleh David O’Connell dkk pada tahun 2008 dalam penelitiannya yang berjudul Unpacking personal adaptability at work. Menurut hasil temuan penelitian ini, salah satu faktor yang memengaruhi kemampuan beradaptasi seseorang adalah tingkat pendidikan. Temuan ini tentu sangat relevan dengan situasi yang dihadapi para lulusan perguruan tinggi saat ini.
Sebagai sebuah kompetensi yang sangat penting, kemampuan beradaptasi ini sebenarnya secara tidak langsung telah dimiliki oleh para lulusan. Selama hampir 2 tahun terakhir, para lulusan telah dihadapkan pada sebuah situasi pandemic yang menuntut kemampuan beradaptasi. Dalam konsep pembentukan kompetensi, efektivitas penguasaan kompetensi akan lebih tinggi ketika dijalani, dialami dengan berbagai pengalaman konkrit.
Dan hal itu sungguh telah dilalui oleh para lulusan saat ini. Beradaptasi dari model pembelajaran tatap muka menjadi model pembelajaran tatap maya adalah pengalaman konkrit. Dari belum pernah menggunakan berbagai platform digital, seperti google meet atau zoom dan lainnya, para lulusan ini mampu beradaptasi dengan baik hingga sangat akrab dengan platform-platform itu. Pengalaman ini secara tidak langsung telah membentuk para lulusan memiliki kemampuan beradaptasi.
Temukan solusi
Selain kemampuan beradaptasi, situasi VUCA ini juga menuntut para lulusan memiliki kemampuan lain, yaitu resiliensi. Situasi yang cepat berubah dan penuh dengan ketidakpastian menuntut tiap lulusan untuk mampu bertahan, berpikir menemukan solusi dan bertindak konkrit mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.
Dalam studi terhadap remaja di Indonesia, UNICEF bekerja sama dengan Oxford Policy Management (2019) melaporkan bahwa organisasi pemberi kerja menuntut lima kompetensi utama, yaitu ketrampilan digital, kemampuan berbahasa asing, ketrampilan komunikasi, kerjasama dan resiliensi atau spirit pantang menyerah.
Secara tidak langsung, sebenarnya para lulusan saat ini telah belajar dan memiliki kemampuan resiliensi itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi pandemic ini telah menggembleng para lulusan memiliki kemampuan resiliensi. Pembelajaran online yang dijalani para lulusan tentu telah menghadirkan berbagai macam tantangan. Jaringan internet yang tidak selalu baik, penjelasan dosen yang tidak dapat seutuhnya diterima, dialog tanya jawab dengan dosen seringkali terganggu jaringan, diskusi dengan sesama mahasiswa tidak dapat dijalani sebagaimana mestinya adalah tantangan konkrit yang dihadapi.
Sudah dialami
Dan pada saat menyelesaikan tugas akhir pun mereka tidak menjalaninya dengan mudah. Proses pembimbingan yang tidak ideal, praktikum yang tidak dapat dilakukan sepenuhnya adalah situasi sulit yang harus mereka hadapi. Namun ketika para lulusan ini akhirnya mampu menyelesaikan studinya, hal itu adalah bukti bahwa mereka telah mampu melewati situasi sulit, menemukan usaha-usaha untuk mengatasi masalah dan tantangan. Secara tidak langsung situasi ini telah membentuk para lulusan memiliki kompetensi resiliensi.
Maka di tengah pandemic yang tidak mudah ini, para lulusan perguruan tinggi harus memiliki optimisme dan harapan yang tinggi. Dua kompetensi penting yang diper-lukan untuk menghadapi tantangan saat ini dan masa depan yang selalu berubah, penuh ketidakpastian dan kompleks telah dimiliki. Tidak saja dipelajari, namun justru dialami. Pengalaman konkrit adalah metode pembentukan kompetensi yang paling efektif.
► Tribun Jateng 18 September 2021 hal. 2