Jumlah permohonan dispensasi nikah yang masuk ke Pengadilan Agama Kota Semarang, semenjak diberlakukan UU No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan pada pertengahan Oktober 2019, melonjak tajam.
Jika biasanya Pengadilan Agama Kota Semarang rata-rata hanya menerima pengajuan dispensasi 5 sampai 8 permintaan per bulan.
Pada November 2019, permohonan dispensasi nikah naik menjadi 30 per bulan.
Namun, fenomena pernikahan di usia muda berpotensi besar mengakibatkan perceraian.
Menurut data Pengadilan Agama Kota Semarang, alasan paling banyak yang menjadikan pasangan muda bercerai adalah pertengkaran terus-menerus dalam rumah tangga.
Selain itu, meninggalkan salah satu pihak dan faktor ekonomi juga menyumbang besar alasan perceraian.
Christa Vidia Rana Abimanyu, psikolog yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, menjelaskan penyebab pasangan muda rentan bercerai.
“Secara usia, di bawah 20 tahun, seseorang belum matang secara emosi.
Biasanya akan matang secara emosi di sekitar usia 25 tahun.
Dalam kondisi emosi yang labil, ia akan kesulitan dalam menjalani kehidupan bersama.
Emosi yang labil membuat seseorang mudah tersulut kemarahan yang mengakibatkan komunikasi dalam rumah tangga menjadi tidak ideal,” ungkapnya, saat dihubungi Tribun Jateng, Jumat (03/02/2020).
Ia juga mengungkapkan, masalah ekonomi turut menjadi alasan pasangan muda rentan bercerai.
“Seseorang di usia muda biasanya belum memiliki kestabilan ekonomi.
Banyak sekali anak muda masih dalam tahap mengejar kestabilan ekonomi, sehingga mereka akan fokus bekerja dan berusaha memiliki finansial yang baik.
Mereka akan memiliki lebih banyak hambatan dalam membangun rumah tangga dalam kondisi seperti ini,” katanya.
“Pasangan muda yang menikah karena hamil di luar nikah lebih ramai lagi.
Kadang, kalau sudah ribut, mereka sampai bilang ‘sebenernya kami nggak saling mencintai’.
Padahal, mencintai itu bisa diusahakan, ya,” imbuh pria yang akrab di sapa Abi ini.
Untuk menekan tingginya angka perceraian pasangan muda, terutama karena masalah emosi yang belum stabil, Abi memberikan beberapa saran kepada para pasangan muda yang sudah menikah.
Pertama, pasangan muda yang sudah menikah perlu saling mengerti dan menerima apabila kondisi emosi mereka memang dalam masa pengembangan menuju stabil.
Kedua, perlu komitmen bersama untuk saling mendukung agar kapasitas pengelolaan emosi diri atau pasangan menjadi lebih baik.
Ketiga, saat ini tersedia banyak psikolog atau panduan yang dapat memfasilitasi peningkatan kapasitas pengelolaan emosi.
Kegiatannya beragam, seperti psikoterapi, art therapy, bahkan menggunakan olahraga.
Pasangan muda dapat melakukan aktivitas-aktivitas tersebut tanpa perlu menunggu masalah datang.
“Realita kehidupan pernikahan tidak selalu bisa kita samakan penutup dongeng ‘…dan akhirnya mereka menikah dan bahagia selamanya’.
Kehidupan pernikahan memerlukan skill dalam mengelola diri, mengelola sosial, mengelola finansial, mengelola kesehatan, seksualitas, spiritual, dan lain-lain,” pungkasnya.
Atta (19), mahasiswa semester 4 Ilmu Kelautan UNDIP, mengungkapkan, dirinya enggan melakoni nikah muda.
“Jujur aku belum siap nikah muda.
Kesiapan yang kurang matang mulai dari jiwa, rohani, dan finansial juga” ujarnya, sembari tersenyum.