Tatanan transportasi jalan raya di dalam negeri dinilai akan terganggu jika pemilik kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi tidak mau mengikuti aturan yang berlaku.
Akademisi Univerisitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai pemerintah harus tegas memberikan hukuman kepada para pemilik kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi yang tidak setuju dengan aturan yang ada dan melakukan pelanggaran. “Masak negara tunduk pada sopir yang tidak ikuti aturan,” kata Djoko, Jakarta, Jumat (12/8/2016).
Dia menambahkan pemerintah harus bersikap tegas dan jangan memberikan terlalu banyak kelonggaran. Menurutnya, kelonggaran tersebut pada akhirnya dapat merugikan konsumen pengguna angkutan umum berbasis aplikasi.
Para pemilik kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi, imbuhnya, sebaiknya berhenti menjadi pengusaha angkutan umum jika keberatan dengan kewajiban yang harus mereka penuhi seperti mengubah nama Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) menjadi nama badan usaha atau uji KIR.
Aplikasi hanya instrumen untuk mempermudah dan bukan segalanya. “Negara wajib melindungi konsumen transportasi,” ujarnya.
Saat ini, dia menilai, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 32/20016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang akan berlaku pada Oktober 2016 sudah mengakomodasi angkutan umum berbasis aplikasi.
Kemudian, dia juga mengingatkan, angkutan umum berbasis aplikasi dapat mengganggu beberapa langkah Pemerintah Daerah yang sedang memperbaiki tranportasi umumnya.
“Kalau daerah belum sempat menata transportasi udah masukin gitu kasian,” ujarnya.
Terkait dengan aturan angkutan umum yang ada, pada Selasa, 9 Agustus 2016 silam, Sekretaris Jenderal Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama Musa Emyus menginginkan kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi tidak menginginkan adanya uji kelaikan kendaran atau KIR karena khawatir asuransi yang dimilikinya menghilang.
Selain itu, dia juga mengatakan, para pemiliki kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi tidak menginginkan STNK miliknya berubah nama menjadi nama badan usaha. Tidak hanya itu, mereka juga tidak ingin menggunakan Surat Izin Mengemudi (SIM) Umum.
Undang-undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), katanya, menyebutkan negara hadir dalam transportasi umum. Oleh karena itu, Djoko mengatakan pemerintah harus hadir dalam transportasi umum – termasuk yang berbasis aplikasi.
Kehadiran pemerintah, ungkapnya, masih diperlukan mengingat kondisi masyarakat Indonesia dalam menikmati transportasi beragam. Masyarakat di luar Pulau Jawa, imbuhnya, masih ada yang belum menikmati transportasi secara ideal.
Dia mencontohkan, di Kalimatan Utara bahkan terdapat angkutan yang memasang tarif hingga Rp30.000 per orang dengan kondisi kendaraan yang biasa saja.
Tautan : http://industri.bisnis.com