Pengamat sepak bola Kota Semarang, Ferdinand Hindiarto mengaku sedih atas tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang.
Tragedi tersebut terjadi setelah suporter Aremania masuk ke lapangan karena timnya Arema Malang kalah 2-3 dari Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu 1 Oktober 2022, malam.
”Sebagai orang bola maupun warga masyarakat saya sangat sedih dengan kejadian ini. Seharusya tidak perlu terjadi karena sepak bola diciptakan bukan untuk menghilangkan nyawa manusia,” ujar mantan GM PSIS tersebut.
Menurutnya, Rektor Unika Soegijapranata ini, ada tiga penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan.
Ini Tiga Penyebab Menurut Ferdinand Hindiarto :
1. Kurang jelinya panpel
Mengapa? karena kejadian serupa baru saja terjadi 2 pekan lalu saat bonek mengamuk di Sidoarjo.
Perilaku supporter sebenarnya relatif bisa diprediksi karena mudah meniru.
Aparat keamanan dalam posisi yang sangat sulit dan menurutnya tidak dapat disalahkan.
Mereka punya protap. Dibiarkan salah, ditangani salah.
”Tahun 2019 saya memutuskan dengan Kapolres magelang untuk memasukkan supporter saat pertandingan sebenarnya tidak boleh ada supporter,” ungkapnya.
”Jika waktu itu saya dengan kapolres ngotot tidak mengizinkan masuk, tidak tahu apa yang akan terjadi. Meskipun keputusan itu membuat kelompok supporter marah,” tambahnya.
2. Dalam perspektif psikologi sosial, kekuatan massa hampir selalu tidak terkendali.
Namun kekuatan massa tersebut akan semakin kuat saat masuk dalam kerangka sebuah identitas kelompok tertentu.
Karena dengan identitas kelompok tertentu, maka identitas individu/pribadi sepenuhnya hilang.
Berubah menjadi identitas kelompok, sehingga pribadi-pribadi ini tidak punya rasa takut sedikitpun karena merasa terlindungi oleh identitas kelompok tadi.
Sepak bola Indonesia di era tahun 1990an pernah mengalami pertandingan dengan hampir 100ribu penonton di GBK saat final perserikatan.
Itu terjadi berkali-kali, namun tidak pernah ada kejadian apapun.
Mengapa? Karena supporter datang ke stadion sendiri-sendiri, atas nama pribadi untuk menyaksikan pertandingan. Saat itu belum ada bonek, viking, the jack aremania atau identitas kelompok yang lain.
Saat ini hampir semua supporter berada dalam identitas kelompok. Bahkan mereka ke stadion bukan dengan kaos tim yang dibela, tapi pakai kaos identitas kelompok. Bagaimana dengan para ketua atau coordinator kelompok tsb? Dalam konteks seperti ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Tesis saya ini terbukti saat Timnas Indonesia bermain dan kalah melawan Vietnam atau Thailand.
Karena supporter timnas tidak dalam identitas kelompok tertentu, maka Ketika timnas kalah juga tidak terjadi apa-apa. Mereka pulang sendiri-sendiri.
3. Kejadian ini apakah lalu menggambarkan karakter Sebagian masyarakat kita?
Ini justru yang paling mengkhawatirkan. Artinya bahwa ada PR besar semua.
Bahwa nilai-nilai bahwa orang Indonesia itu ramah, toleran, gotong royong yang selama ini ada bisa jadi mulai luntur.
”Jika dilihat perilaku di domain lain, dugaan ini bisa jadi benar. Kekalahan pasangan kepala daerah bisa berujung pada kekerasan. Nilai-nilai luhur menghargai manusia lain semakin luntur,” tambahnya.
Bagaimana Sebaiknya?
- Jangka pendek, hentikan total kompetisi. Nyawa lebih berharga dibanding sebuah kompetisi atau nilai ekonomis dari sepak bola.
Karena sebagaian kelompok masyarakat (supporter) cenderung suka meniru dan bukan belajar dari sebuah pengalaman buruk. - Semua pemangku kepentingan harus berefleksi diri, apa tujuan sepak bola? Saatnya kembali merumuskan ulan apa itu sepak bola? Apa tujuan murninya?
- Akademisi yang terkait (sosiolog, psikolog sosial dll) melakukan riset tentang kejadian-kejadian ini dan merekomendasikan solusi-solusinya.
- Tidak perlu ada identitas kelompok supporter, biarlah supporter datang secara individu ke stadion.
”Semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi,” tutup Ferdinand.
#https://www.suaramerdeka.com/nasional/pr-044993956/ferdinand-hindiarto-panpel-arema-kurang-jeli-dan-tiga-penyebab-tragedi-di-kanjuruhan-ratusan-orang-meninggal?page=all