News Analysis oleh Rudatin Ruktiningsih | Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata Semarang
Seharusnya, BRT menjadi jalan keluar bagi persoalan kemacetan di Kota Semarang. Namun, di beberapa titik, justru menambah kemacetan. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya, belum ada keterpaduan sistem BRT.
Artinya, BRT hanya dipahami sebagai angkutan umum berupa bus yang dilengkapi AC. Padahal, BRT merupakan sistem angkutan umum berupa angkutan bus dengan tingkat pelayanan sesuai persyaratan, feeder (pengumpan), sistem halte, dan park and ride. Jika memungkinkan, ada sistem pembayaran yang terintegrasi dan mudah dijangkau masyarakat.
Kemudian, beberapa koridor BRT malah kontra produktif karena rute yang dilalui bukan rute potensial angkutan massal (bukan rute utama perkotaan). Rute yang dilalui seharusnya dapat dilayani feeder dengan jenis angkutan yang tidak sebesar bus.
Lalu, rute yang dilalui beberapa koridor berupa jalan yang memiliki lebar kurang lebih 7 meter, dengan geometri jalan ekstrim jika dilalui oleh bus. Sehingga, tidak memenuhi aspek keselamatan lalu lintas, bahkan menambah kemacetan lalu lintas.
Hal lain, sulitnya memindahkan pengguna kendaraan pribadi untuk naik trans Semarang karena aspek keterjangkauan kendaraan dari kawasan pemukiman.
Sistem BRT belum terbentuk dan kepastian waktu akses tidak jelas. Artinya, tidak dapat dipastikan kapan mendapatkan layanan dan kapan bisa sampai tujuan karena layanan bus masih bercampur lalu lintas lain. Akibatanya, calon penumpang yang memiliki mobilitas tinggi tidak tertarik menggunakan moda tersebut.
Saat ini, BRT Trans Semarang lebih populer di kalangan pelajar dan buruh karena tarif murah. Padahal, akses mereka menggunakan BRT Trans Semarang terbatas. Mereka hanya memanfaatkan saat berangkat dan pulang sekolah atau kerja.
Meski begitu, masih banyak pelajar dan buruh yang belum menggunakan moda transportasi ini karena tak dijangkau. Belum semua pemukiman dilayani BRT atau feeder sehingga warga akhirnya menggunakan kendaraan pribadi.
Karena itu, pemangku kepentingan, terutama Pemkot dan DPRD Semarang harus memahami serta menyusun sistem BRT yang lengkap. Sehingga, mempunyai persepsi yang sama dalam membangun sistem angkutan massal perkotaan yang berbasis jalan raya.
Karena, mengembangkan sistem BRT bukan hanya tentang banyaknya koridor yang dibangun tetapi bagaimana membangun secara lengkap setiap koridor sehingga diminati masyarakat.
Kemudian, keberhasilan sistem BRT bukan dari berapa penghasilan yang diperoleh dari pengoperasian tetapi dari berapa masyarakat yang mau berpindah dari kendaraan pribadi ke moda angkutan massal ini.
Daripada membangun angkutan massal berbasis rel yang cukup mahal, mohon sebaiknya benahi dulu angkutan massal yang berbasis jalan raya sehingga tidak terjadi sandwich angkutan massal tetapi tidak optimal dalam pelayanan.