Bayangkan, kalau ada satu miliar orang menyisakan sebutir nasi, berarti sudah ada satu miliar butir nasi yang terbuang sia-sia; sementara miliaran manusia lainnya tertimpa kelaparan
TULISAN ini merupakan refleksi atas obrolan di grup Whatsapp Mahasiswa dan dosen Program Studi Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang selama beberapa waktu, yang saya hubungkan dengan Hari Pangan Sedunia (16/10). Seorang kawan mengirimkan hasil copy paste tentang pengalaman seseorang yang terkesima di sebuah restoran di Hamburg, Jerman. Intinya, bersama rekan-rekannya, orang ini menyisakan sepertiga makanan yang mereka pesan yang tidak dapat mereka habiskan. Saat hendak meninggalkan restoran, seorang wanita tua dari meja sebelah berbicara kepada mereka dalam bahasa Inggris yang mengungkapkan rasa tidak senang kepada rombongan asal Indonesia tersebut yang memubazirkan makanan itu.
Atas teguran itu, teman orang ini berkata, "Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian berapa banyak makanan yang tersisa." Mendengar jawaban itu, wanita itu meradang lantas menelepon seseorang. Ternyata, ia menelepon seorang petugas keamanan sosial yang kemudian menerbitkan surat denda 50 euro kepada rombongan asal Indonesia tersebut. Petugas itu juga mengatakan dengan nada galak, "Pesanlah hanya yang sanggup Anda makan, uang itu milikmu tapi sumber daya alam ini milik bersama. Ada banyak orang lain di dunia yang kekurangan. Kalian tidak punya alasan untuk menyia-nyiakan sumber daya alam tersebut."
Dalam satu kalimat, pesan itu bermakna kuat: Money is yours but resources belong to the society. Yang dikatakan petugas keamaan sosial itu memberi pelajaran berharga bagi kita semua untuk rnengubah kebiasaan buruk kita bersikap boros dan mubazir saat kita tidak menghabiskan makanan dan membuangnya begitu saja.
Begitulah kurang lebih rangkuman pesan itu dalam bahasa saya. Terhadap postingan tersebut, Prof Budi Widianarko yang selama ini amat peduli terhadap makanan dalam konteks ilmu lingkungan dan kebahagiaan semesta (eco-happiness) merespons dengan dua kata saja. Pakta Milan. Atas respons tersebut, saya pun segera melacak, apa maknanya.
Ternyata, Prof BW (begitu panggilan akrab mantan Rektor Unika Soegijapranata dua periode itu) pernah menulis tentang Pakta Milan (Kompas, 30/7/2019). Pakta Milan lahir dan keprihatian atas kegagalan sistem pangan perkotaan yang menggerakkan Kota Milan, Italia, pada 2014 membuat kajian tentang sistem pangan lokalnya dengan fokus pada daur pangan di kota itu, lengkap dengan konteks dan para pelakunya. Pakta Milan melibatkan 700 pemangku kepentingan dan merumuskan kebijakan pangan perkotaan yang komprehensif. Bahkan, Giuliano Pisapia yang menjadi wali kota Milan saat itu (2011-2016) memprakarsai jejaring kota-kota dunia yang peduli pada keberlanjutan sistem pangannya.
Sebagaimana dirangkum Prof BW (Budi Widianarko, 2019), ada tujuh gagasan pokok Pakta Milan yang hingga saat ini ditandatangani oleh 184 kota yang ikut gerakan Pakta Milan dengan perkiraan total populasi 450 juta. Pertama, mengembangkan sistem pangan berkelanjutan yang inldusif, tangguh, aman, dan beragam yang menyediakan makanan sehat dan terjangkau bagi semua orang dalam kerangka kerja berbasis HAM, yang meminimalkan limbah dan melestarikan keanekaragaman hayati sambil beradaptasi dan mengurangi dampak dari perubahan iklim.
Kedua, mendorong koordinasi antar dinas dan lintas sektor di tingkat kota dan masyarakat, bekerja mengintegrasikan pertimbangan kebijakan pangan perkotaan ke dalam kebijakan, program dan inisiatif sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti pasokan dan distribusi makanan, perlindungan sosial, nutrisi, pemerataan, produksi pangan, pendidikan, keamanan pangan, serta pengurangan limbah.
Ketiga, mengembangkan keselarasan antara kebijakan, program terkait pangan kota, dan kebijakan serta proses sub-nasional, nasional, regional, dan internasional yang relevan.
Keempat, melibatkan semua sektor dalam sistem pangan (termasuk pimpinan wilayah tetangga, organisasi teknis dan akademik, masyarakat sipil, produsen skala kecil, sektor swasta) dalam perumusan, implementasi, dan penilaian semua kebijakan, program, dan inisiatif terkait pangan.
Kelima, meninjau dan mengubah kebijakan, rencana, dan peraturan perkotaan yang ada untuk mendorong terciptanya sistem pangan yang adil, tangguh, berkelanjutan.
Keenam, menggunakan kerangka tindakan sebagai titik awal bagi setiap kota mengatasi pengembangan sistem pangan perkotaan mereka sendiri dan akan berbagi perkembangan dengan kota-kota yang berpartisipasi dan pemerintah nasional dan lembaga intemasional jika diperlukan.
Ketujuh, mendorong kota-kota lain bergabung dengan aksi kebijakan pangan ini.
Memang tidak sebut pesan praktis-pragmatis namun sangat mendalam dari sisi kepekaan ekologis, yakni jangan boros! Namun, menurut hemat saya, Pakta Milan bisa memberi perspektif itu.
Jangan Boros
Sikap tidak boros dan memubazirkan sisa makanan bahkan menjadi keprihatinan Paus Fransiskus yang selalu berpesan agar kita tidak menyisakan sebutir nasi pun di piring kita. Bayangkan, kalau ada satu miliar orang menyisakan sebutir nasi, berarti sudah ada satu miliar butir nasi yang terbuang sia-sia, sementara miliaran manusia lainnya tertimpa kelaparan.
Tanggal 27 Juni lalu, Paus Fransiskus mendesak 500 peserta Konferensi Umum Ke-41 Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang berbasis di Roma agar bekerja sama untuk mengatasi momok kelaparan dan kerawanan pangan di dunia, yang menurut Paus disebabkan oleh kurangnya kasih sayang, minat, kemauan sosial dan politik para pemimpin kita. Targetnya tahun 2030 tidak ada lagi kemiskinan dan nol kelaparan.
Paus asal Argentina itu juga menyerukan agar semua orang mengatasi penyebab mendasar dari kurangnya makanan dan akses ke air minum. Kurangnya makanan dan air bukan urusan internal dan eksklusif negara-negara termiskin dan paling rentan, tetapi satu yang menjadi perhatian semua orang. Dia mengatakan, tanggung jawab terletak pada semuanya untuk meningkatkan atau mengurangi penderitaan banyak saudara dan saudari kita yang tangisan putus asanya harus kita dengar.
Menurut Bapa Suci itu, salah satu cara untuk memerangi kelaparan dan kerawanan pangan adalah dengan mengurangi pemborosan makanan dan air. Peningkatan kesadaran akan masalah ini merupakan tanggung jawab sosial semua orang tanpa diskriminasi. Hidup tidak boros merupakan bentuk solidaritas sosial nyata.
Karena itu, mari kita tidak bersikap boros. Habiskan makananmu! Bersikaplah peduli pada miliaran umat manusia yang hingga saat ini masih menderita kelaparan!
—Aloys Budi Purnomo Pr, rohaniwan, Kepala Campus Ministry dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.
►Suara Merdeka 15 Oktober 2019, hal. 6,
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/202571/ketahanan-pangan-versus-hidup-boros