Kecanggihan teknologi seperti internet of things (IoT), big data, dan kecerdasan buatan membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan apapun. Dengan bantuan teknologi, pekerjaan menjadi mudah dilakukan dari mana saja dan kapan saja.
Namun demikian, dosen psikologi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Dr Ferdinandus Hindiarto mengatakan terdapat sisi negatif dari kemajuan teknologi. Terutama terkait perubahan pola pikir dan perilaku manusia.
“Ada adegan viral anak mandi di tengah jalan. Ada yang selfie di tempat berbahaya. Penggunaan teknologi internet cenderung membuat pengguna mengalami permasalahan eksistensi,” kata Ferdi, sapaannya, Selasa (21/12/2021).
Seperti diketahui, baru-baru ini viral sejumlah orang melakukan selfie di lokasi bencana erupsi Gunung Semeru. Saat ini, kecanggihan teknologi banyak digunakan untuk kebutuhan eksistensi.
Kemajuan teknologi, kata dia, tidak diimbangi dengan fondasi karakter kuat seseorang. Dorongan eksistensi lebih kuat dibandingkan kematangan diri untuk memilih mana yang harus ditampilkan ke publik mana yang tidak.
“Mereka menganggap dunia maya segalanya. Seringkali jumlah ‘like’ merupakan nyawa, hidup dan mati mereka. Jika mereka posting tetapi tidak ada yang ‘like’, seperti harga dirinya turun. Itulah definisi diri yang harus di-dandani (diperbaiki),” kata pria yang juga menjabat Rektor Unika ini.
Karenanya, ia mengajak masyarakat agar bisa mengambil jarak dengan teknologi. Mengambil waktu sejenak agar mata tidak terus-terusan melihat layar gawai. Pandangi mata lawan bicara secara langsung, berinteraksi, dan bergurau dengan orang di sekeliling.
“Kita harus bisa berani mengambil jarak, bukan melepaskan yah, karena kita butuh untuk pekerjaan. Kita bisa kok hidup tanpa teknologi. Saya agak galak, kalau saat rapat ada yang melihat ponsel, langsung saya tegur,” tegasnya.
Pikiran seseorang, kata dia, tidak akan kuat untuk mengurus apa yang ada di depan secara langsung dan yang ada di ponsel, misalnya membalas pesan Whatsapp.
Lulusan program doktoral Universitas Gadjah Mada (UGM) ini tidak memungkiri, anak muda atau milenial membutuhkan eksistensi dan jati diri, namun harus bisa melihat ruang kreatifitas seperti apa yang tepat.
“Kalau tidak berani mengambil jarak, konstruksi pikiran kita akan dipengaruhi hal-hal yang kita terima, berita, informasi akan mempengaruhi pola pikir. Hati-hati, tidak semua sumber informasi benar. Jika sudah terpengaruh, menjadi cemas hati kita, seolah-olah berkata, jangan-jangan ada ini, jangan-jangan ada itu,” ucapnya.
Ferdi mencontohkan kehidupan orangtua terdahulu yang tidak memegang gawai atau pun teknologi. Namun, kehidupan mereka tetap bahagia. Kenyataan itu berbanding terbalik saat ini, dimana kalangan milenial seolah-olah tidak bisa hidup tanpa gawai dan teknologi.
“Seorang filsuf, Heidegger mengatakan teknologi membantu hidup manusia, bukan mengkalkulasi. Sekarang dikalkulasi. Provider hanya berpikir profit-profit, manusia rusak ya bukan urusanku. Saya ikuti ambil jarak itu, ternyata enak saja, sepenuhnya berbeda, ngobrolnya lebih enak,” ucapnya.
►https://jateng.tribunnews.com/2021/12/21/masalah-eksistensi-di-balik-kemajuan-teknologi-ferdinandus-hindiarto-kita-harus-jaga-jarak?page=all.