Eksploitasi air tanah di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang berlebihan kini mulai dirasakan dampaknya.
Hal itu terlihat dari banyaknya wilayah di Kota Semarang seperti Semarang bagian utara dan timur yang mengalami penurunan tanah berkisar 10 sentimeter sampai 15 sentimeter tiap tahunnya.
Temuan itu diungkap kelompok peneliti dari University of Amsterdam dan IHE-Delft Institute for Water Education, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Unika Soegijapranata, Amarta Institute for Water Literacy dan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA).
"Ekstraksi air tanah di Semarang mengalami peningkatan drastis pada periode tahun 1980 sampai tahun 2000-an yang semulanya 0.4 juta kubik tiap tahun dan sekarang mencapai 38 juta kubik tiap tahun," ujar Amalinda Savirani koordinator peneliti tersebut, Jumat (31/1/2020).
Amalinda menyebut ada warga yang tiap lima tahun sekali selalu meninggikan rumahnya agar tidak tenggelam akibat banjir rob karena permukaan tanah sudah lebih rendah dibandingkan permukaan air laut.
"Selain berdampak amblas, masalah lainnya adalah abrasi. Hal itu akibat dari tanah yang lebih rendah dibandingkan permukaan air laut. Tercatat dari tahun 1972 sampai 2019 seluas 4.274 hektar lahan Semarang dan Demak hilang akibat air abrasi ini," tuturnya.
Sementara itu, peneliti dari Unika Soegijapranata Wijayanto Hadipuro berharap dari penelitian ini akan mempengaruhi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Dia khawatir akan munculnya disaster capitalism akibat proyek-proyek yang dikerjakan oleh manusia.
"Jadi jangan sampai proyek menimbulkan bencana sehingga dalam penanganan bencana muncul bencana lainnya dan seterusnya," pungkasnya.
Berita serupa:
https://regional.kontan.co.id/news/waduh-tanah-di-semarang-turun-hingga-15-sentimeter-tiap-tahun?page=all