Oleh: ANDREAS LAKO
Awal Februari 2019, Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,17 persen atau lebih tinggi daripada 2017 sebesar 5,07 persen. Meskipun tren pertumbuhannya terus meningkat sejak 2016, sejumlah kalangan justru merespons negatif rilis tersebut.
Pertumbuhan ekonomi berkisar 5,02 persen (2016) hingga 5,17 persen (2018) dinilai masih terlalu rendah dan kurang berkualitas. Dikatakan, pertumbuhan yang ideal adalah di atas 6-7 persen. Sejumlah politisi bahkan mengkritik keras Presiden Joko Widodo yang dinilai telah gagal memimpin negara karena dalam kampanye Pilpres 2014, Jokowi pernah menjanjikan ekonomi Indonesia bakal bertumbuh 6-7 persen.
Benarkah pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016-2018 belum ideal dan kurang berkualitas? Jawabannya, tidak benar! Mengapa?
Pertumbuhan berkualitas
Saya menilai, kalangan pengkritik telah salah kaprah dalam menilai hakikat pertumbuhan ekonomi pada era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Selain hanya membandingkan dengan besaran pertumbuhan pada era pemerintahan SBY-Boediono yang pernah mencapai di atas 6 persen pada 2010-2012, dasar penilaiannya juga masih terbelenggu oleh paradigma lama pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi kapitalis yang tamak (greedy economy). Paradigma ekonomi kapitalis menilai sukses-gagalnya suatu pemerintahan berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam suatu periode. Semakin tinggi tingkat pertumbuhannya, kinerjanya akan dinilai bagus. Demikian sebaliknya.
Kritik terhadap rezim pertumbuhan berbasis ekonomi kapitalis adalah laju pertumbuhannya diperoleh dengan cara-cara yang tak etis. Yaitu, mengeksploitasi sumber daya alam dan memeras masyarakat, serta merusak lingkungan. Akibatnya, di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi, eskalasi kerusakan lingkungan dan krisis sosial juga kian serius. biaya (cost) dan risiko (risk) yang ditanggung negara dan masyarakat luas sangat besar. Kesenjangan sosial-ekonomi antarkelompok masyarakat juga kian melebar dan timbul radikalisme sosial.
Dalam KTT Bumi Rio+20 di Brasil pada Juni 2012, para pemimpin dunia telah bersepakat menghentikan paradigma pertumbuhan ekonomi kapitalis tersebut karena sangat mengancam keberlanjutan (sustainability) Bumi, masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gantinya, mereka mengajukan konsep Green Economy yang lebih ramah lingkungan dan masyarakat (Lako, 2015). Tujuannya, untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi hijau yang lebih ramah masyarakat dan lingkungan.
Konsep Ekonomi Hijau ini kemudian mendorong para pemimpin dunia merumuskan konsep Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2015-2030. Konsep pembangunan yang memiliki 17 tujuan dengan 169 target capaian ini disepakati 193 negara anggota PBB (termasuk Indonesia) pada 25 Oktober 2015.
Sejak 2016, Indonesia telah mengimplementasikan konsep SDGs tersebut ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Paradigma baru itu memadukan dan memperhitungkan semua aspek kepentingan lingkungan, masyarakat, dan ekonomi daerah ataupun nasional secara terintegrasi dan berkelanjutan dalam tata kelola pembangunan nasional. Gerakan go green, green economy, green industry, green investment, green business, green management, dan lainnya yang gencar digelorakan dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya untuk mewujudkan SDGs dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan atau pertumbuhan ekonomi hijau (green growth) yang lebih ramah dan adil terhadap masyarakat dan lingkungan.
Karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2016 hingga kini sesungguhnya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas daripada tahun-tahun sebelumnya. Alasannya, karena pertumbuhan itu dihasilkan dari proses pembangunan yang memperhitungkan semua aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara terpadu dan berkesinambungan (Lako, 2018).
Memacu pertumbuhan hijau
Hal terpenting lain yang mesti juga disadari adalah perekonomian Indonesia selama era Jokowi-Kalla mengalami dua pukulan serius. Pukulan pertama, selama 2013-2018 perekonomian Indonesia terus dililit resesi ekonomi global. Resesi itu berdampak negatif menggerus sendi-sendi ekonomi nasional. Itu sebabnya, selama 2013-2015 pertumbuhan ekonomi terus menurun dari 6,23 persen (2012) menjadi 5,56 persen (2013), 5,01 persen (2014) dan 4,78 persen (2015). Sementara selama 2016-2018, meski masih dililit resesi, perekonomian Indonesia justru membaik dan bertumbuh di atas 5 persen.
Pukulan kedua, kian berkembangnya model ekonomi digital (Ekonomi 4.0). Seperti diketahui, sejak 2014 model ekonomi dan bisnis berbasis digital atau teknologi informasi berkembang pesat di Indonesia. Dampaknya tidak hanya menggerus eksistensi dan kontribusi ekonomi dari entitas-entitas ekonomi yang masih berbasis model ekonomi kapitalis (Ekonomi 3.0). Hal itu juga menimbulkan kegagapan serius bagi pemerintah dalam mengakui dan memvaluasi nilai ekonominya, serta meregulasi kewajibannya.
Kegagapan itu menyebabkan tren pertumbuhan pendapatan negara dari pajak selama 2014-2017 melambat. Hal itu, bisa dilihat dari tren penurunan rasio pajak dari 13,6 persen (2013) menjadi 13,1 persen (2014), 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016) dan 10,7 persen (2017). Sementara pada 2018, seiring kian mahirnya pemerintah mengidentifikasi dan meregulasi kewajiban pajak bagi entitas-entitas ekonomi baru, pendapatan negara dari pajak mulai meningkat pesat. Rasio pajak pada 2018 pun naik menjadi 11,50 persen.
Hal yang patut disyukuri adalah, meski dihantam dua pukulan itu, pertumbuhan ekonomi sejak 2016-2018 terus menanjak dan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Pertama, menurunkan kemiskinan dari 28,51 juta orang (2015) menjadi 25,67 juta orang (2018) atau turun 11,1 persen. Kedua, menyerap tenaga kerja sekitar 8,5 juta orang dan menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 6,18 persen (2015) menjadi 5,34 persen (2018).
Ketiga, menurunkan ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat. Ketimpangan yang diukur dengan rasio Gini turun dari 0,402 (2015) menjadi 0,384 (2018). Padahal, selama era SBY-Boediono, rasio ini terus menanjak dari 0,378 (2010) menjadi 0,414 (2014). Keempat, meningkatkan PDB per kapita dari Rp 41,9 juta (2014) menjadi Rp 56 juta (2018) atau naik 14,1 persen.
Dampak positif
Dampak-dampak positif itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi selama 2016-2018 adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan. Alasannya, karena pertumbuhan itu dihasilkan dari: 1) Proses pembangunan berbasis SDGs yang memadukan semua aspek kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan; dan 2) proses pembangunan yang sedang dilanda resesi global. Selain itu, pertumbuhan tersebut juga berdampak positif menurunkan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial serta kesenjangan antarwilayah. Pertumbuhan itu juga berdampak positif meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembangunan berbasis SDGs yang mulai diterapkan pemerintah sejak 2016 sudah tepat karena menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan atau pertumbuhan ekonomi hijau yang berkualitas. Karena itu, apabila ingin memacu pertumbuhan ekonomi hijau atau pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah harus terus konsisten menerapkan SDGs dan melakukan penghijauan (greening) terhadap sistem (struktur dan proses ekonomi) dan tata kelola pe
rekonomian nasional.
Apabila hal ini sukses dilakukan, pertumbuhan ekonomi pada 2019 dan tahun-tahun berikutnya pasti akan semakin tinggi dan berkualitas. Pertumbuhan ekonomi hijau ini akan berdampak positif pada pencapaian 17 tujuan dari SDGs Indonesia 2015-2030 dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta Indonesia lestari.
___________________________
Andreas Lako
Guru Besar Akuntansi;
Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan
Unika Soegijapranata Semarang