Oleh Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi dan Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata Semarang.
AKIBAT terus dililit oleh wabah virus korona atau Covid-19 sejak Maret 2020, perekonomian Jateng pada 2020 diduga akan mengalami pertumbuhan yang negatif. Dalam hitungan per triwulan, pertumbuhan ekonomi Jateng bahkan sudah mengalami resesi. Pada Triwulan I 2020 pertumbuhan minus 0,9 persen dan pada Triwulan II 2020 minus 5,17 persen.
Secara teoretis, minusnya pertumbuhan ekonomi selama dua periode berturut-turut tersebut menyebabkan Jateng bisa dikategorikan sebagai provinsi yang mengalami resesi ekonomi.
Secara keseluruhan, meski pada Triwulan III dan IV 2020 ekonomi Jateng diprediksi mengalami pertumbuhan positif, namun pada akhir 2020 kemungkinan minus 2 persen hingga minus 1 persen. Hal tersebut patut diwaspadai karena bakal menimbulkan risiko-risiko sosial-ekonomi yang serius. Misalnya, makin bertambahnya jumlah penduduk miskin, menganggur, dan stres, serta kian melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antarkelompok masyarakat yang bisa menimbulkan riak-riak. Meski hingga kini ketahanan daerah Jateng masih kokoh, namun para pimpinan Pemprov Jateng dan pemkab/pemkot serta masyarakat perlu mewaspadai risiko-risiko resesi ekonomi 2020.
Pemerintah hendaknya segera menyiapkan skenario krisis dan memperkuat ìjaring-jaring pengaman sosial dan ekonomi daerahî untuk memitigasi atau meminimalisasi potensi bahaya dari ledakan risiko sosial (social risks) dan risiko ekonomi (economic risks) yang bakal terjadi akibat Covid-19. Data menunjukkan, selain menyebabkan resesi ekonomi, pandemi Covid- 19 juga meningkatkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Laporan BPS per akhir Maret 2020 menunjukkan persentase kemiskinan penduduk Jateng meningkat dari 10,58 persen (September 2019) menjadi 11,41 persen pada Maret 2020 atau bertambah 305,1 ribu orang. Ketimpangan yang tecermin dalam Rasio Gini juga meningkat dari 0,358 (September 2019) menjadi 0,362 pada Maret 2020. Begitu pula tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat dari 4,22 persen (Agustus 2019) menjadi 4,25 persen.
Padahal, tren ketiga indikator kinerja sosial tersebut selama 2014-2019 terus menurun. Mencermati sejumlah implikasi negatif tersebut dan juga terus meluasnya dampak negatif Covid-19 terhadap kinerja sosial dan ekonomi masyarakat dan dunia usaha selama April-September 2020, maka bisa dipastikan jumlah penduduk miskin dan menganggur Jateng akan meningkat pesat pada 2020. Dalam laporan yang akan segera dirilis BPS pada awal November 2020, jumlah penduduk miskin dan menganggur Jateng dipastikan meningkat signifikan. Demikian pula Rasio Gini. Selain itu, krisis ekonomi juga diyakini meningkatkan potensi risiko keuangan daerah (financial risks). Pertumbuhan ekonomi yang menurun hingga minus secara otomatis juga menurunkan pendapatan daerah yang berasal dari pajak daerah, dividen, dan lainnya. Pendapatan daerah dalam APBD 2020 yang ditarget Rp 28,3 triliun sangat mungkin meleset jauh.
Hal tersebut tentu akan menyebabkan defisit APBD kian membesar. Karena Dana Perimbangan dari pemerintah pusat juga diperkirakan berkurang drastis, maka APBD Jateng 2020 dan 2021 dikhawatirkan mengalami krisis serius. Selain berdampak pada kemampuan APBD 2021, hal ini juga akan memengaruhi kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan melanjutkan pembangunan. Risiko krisis APBD ini sangat serius dan krusial untuk dipikirkan jalan keluarnya oleh Gubernur dan para kepala daerah di seluruh Jateng. Agar bisa segera pulih dari krisis ekonomi, maka pengendalian terhadap laju Covid-19 merupakan hal terpenting. Berdasarkan Data Tanggap Covid-19 Pemprov Jateng pada 25 Oktober 2020, jumlah penduduk yang positif Covid-19 tercatat 32.738 orang. Sementara jumlah pasien yang sembuh 26.647 orang (81,4%), dan jumlah yang meninggal 2.431 orang (7,4%). Data menunjukkan, sejak New Normal diberlakukan pada akhir Mei 2020, mulai Juni hingga 25 Oktober 2020 terjadi kenaikan kasus positif Covid-19 yang signifikan di Jateng.
Tampaknya, banyak masyarakat salah mengartikan New Normal yang digagas Presiden Jokowi sebagai ”sudah kembali ke era normal”, sehingga mereka leluasa melakukan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi dan lalai terhadap protokol kesehatan. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terkena Covid-19 meningkat pesat. Jika kenaikan tersebut tidak segera dikendalikan pemerintah dengan pendekatan- pendekatan yang lebih humanistis dan ekonomis, maka dikhawatirkan para investor dan masyarakat menengah ke atas akan enggan berinvestasi dan meningkatkan aktivitas konsumsinya di Jateng. Kebanyakan korporasi juga akan enggan melakukan aktivitas ekonominya karena khawatir terkena Covid-19.
Untuk mengendalikan eskalasi risiko tersebut, Pemprov dan pemkab/kota hendaknya terus melakukan terobosan-terobosan yang inovatif untuk mengendalikan wabah. Selain itu, perlu memacu aktivitas perekonomian daerah, baik dari sisi permintaan maupun penawaran lewat APBD 2020 dan APBD 2021. Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi yang minus pada Semester 1 2020 (-1,7 %) adalah penurunan drastis pada pos Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (Pemprov Jateng) sebesar 4.730 persen.
Sangat Krusial
Karena peran pos Pengeluaran Konsumsi Pemerintah sangat krusial bagi pembangunan daerah, terutama terkait dengan tata kelola, investasi, pembiayaan, dan pendanaan operasional pembangunan, maka peningkatan dan optimalisasi konsumsi pemerintah untuk pemulihan krisis ekonomi dan sosial sangat mendesak dilakukan pada Triwulan IV2020 dan 2021. Optimalisasi tersebut akan meningkatkan kinerja ekonomi, baik dari sisi permintaan maupun penawaran (lapangan usaha). Hal terpenting ketiga adalah pemerintah perlu mendesain tata kelola ekonomi daerah berbasis pengendalian Covid-19.
Dalam hal ini, dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi besar, perlu didorong untuk melakukan aktivitas ekonomi secara normal, namun harus tetap mengutamakan aspek-aspek pengendalian Covid-19 sehingga aman untuk para pekerja dan konsumen. Meskipun selama ini pemerintah dan pelaku usaha sudah berupaya melakukannya, namun kian meningkatnya penyebaran Covid-19 menunjukkan bahwa upaya-upaya pengendalian tersebut belum optimal, sehingga perlu ditingkatkan lagi. Tampaknya, apabila pandemi sulit dipastikan kapan akan berakhir, maka ke depan pemerintah dan para pelaku usaha perlu bersepakat untuk menjadikan Covid-19 sebagai faktor risiko pembangunan maupun risiko pengembangan usaha bisnis.
Hal terpenting lain yang ingin saya usulkan adalah Pemprov Jateng dan pemkab/pemkot hendaknya segera menyiapkan anggaran pemerintah dalam APBD 2021 untuk memperkuat Jaring Pengaman Sosial atau JPS. Tujuannya untuk menanggulangi dampak-dampak negatif resesi ekonomi terhadap melonjaknya jumlah penduduk miskin dan menganggur, serta kian melebarnya kesenjangan sosial/ekonomi.
Pemerintah juga perlu menyiapkan Jaring Pengaman Industri atau JPI, untuk menanggulangi lesunya pertumbuhan UMKM dan korporasi yang menghasilkan barang/jasa yang diperlukan masyarakat luas. Selain UMKM, korporasi-korporasi yang kesulitan keuangan dan bisnis akibat Covid-19 perlu dibantu via JPI karena mereka juga merupakan aset terpenting dalam struktur perekonomian dan kehidupan masyarakat Jateng. (19)
►https://www.suaramerdeka.com/news/nasional/245090-pulih-dari-resesi
< p>Suara Merdeka 26 Oktober 2020 hal 1, 7