Oleh: Heny Hartono
BERBAGAI ornamen Imlek dan deretan fashion terbaru dengan dominasi warna merah yang dipajang di banyak etalase butik dan mall semakin menegaskan bahwa hari raya Imlek sudah semakin dekat. Hari raya Imlek merupakan hari raya terbesar bagi kaumTionghoa untuk memperingati pergantian tahun penanggalanTionghoa. Di Indonesia, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 hari raya Imlek pernah dilarang untuk dirayakan di depan umum dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa yaitu dari tahun 1968 hingga1999. Namun, setelah rezim orde baru berakhir, pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Saleh atau lebih dikenal sebagai Gus Dur, mulai tahun 2000 hari raya Imlek kembali bebas dirayakan oleh umat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no 19 tahun 2000 tertanggal 9 April 2001 oleh Gus Dur, hari raya Imlek resmi dijadikan sebagai hari libur fakultatif bagi yang merayakan. Selanjutnya pada tahun 2003 hari raya Imlek diresmikan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati.
Dalam perkembangannya, selama dua dasawarsa terakhir gaung hari raya Imlek tidak hanya menggema di antara etnis Tionghoa namun gaungnya juga terasa di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Suasana indah saat masyarakat dari berbagai etnis dapat berbaur menikmati nuansa Imlek ini merupakan potret yang menunjukkan bahwa Indonesia dapat menjadi, melting pot dimana berbagai etnis dan budaya dapat hidup berdampingan secara harmonis, penuh toleransi, serta saling menghormati. Kondisi yang demikian mendorong terjadinya proses integrasi sosial dimana akulturasi budaya terbentuk. Meskipun budayaTionghoa bukanlah budaya asli Indonesia namun seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaanTionghoa dapat diterima untuk hidup berdampingan dengan kebudayaan asli Indonesia. Melalui proses interaksi sosial ini, masyarakat, Indonesia dapat menerima perayaan hari raya Imlek sebagai salah satu bagian yang turut mewarnai budaya Indonesia.
Proses interaksisosial yang melahirkan akulturasi budaya ini tentu menggandeng beberapa dampak. Salah satu dampak yang timbul adalah terjadinya adaptasi antarbudaya termasuk dalam hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan yang dalam istilah sosiologi disebut kinship umumnya didasarkan atas hubungan darah, pernikahan, atau hubungan sosial (Crossman, 2018). Yang menarik untuk diamati terkait kinship ini adalah penggunaan address term atau kata panggilan yang menunjukkan hubungan kekerabatan mulai tergerus. Pada waktu yang lampau, sangatlah jamak di kalangan orang Tionghoa untuk menyapa satu dengan yang lain menggunakan sapaan sesuai dengan hubungan kekerabatan diantara mereka. Namun pada masa kini pengggunaan sapaan kekerabatan seperti encim, encek, ku, pek, kim sudah mulai berkurang. Khususnya generasi Tionghoa yang lebih muda sudah tidak lagi banyak yang menggunakan sapaan tersebut ketika memanggil kerabat mereka. Mereka cenderung menggunakan sapaan yang lebih popular seperti oom dan tante untuk memanggil paman dan bibi serta oma dan opa untuk menyapa kakek dan nenek. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi penyebab tidak dipakainya lagi sapaan-sapaan tersebut, di antaranya adalah kesan kurang modern sebab yang biasa memakai sapaan tersebut adalah generasi yang lebih tua, rumit untuk mengingat sapaan yang tepat dipakai, tidak ada yang memberi tahu bagaimana harus memanggil kerabat dengan sapaan yang tepat, serta tidak banyak yang menggunakan sapaan tersebut di masa sekarang alias tidak popular.
Apabila sapaan tersebut tidak lagi sering digunakan maka lambat laun akan dilupakan padahal sapaan khas tersebut justru menjadi warna yang dapat menunjukkan kekhasan dari budayaTionghoa. Di samping itu, penggunaan sapaan yang tepat akan menumbuhkan rasa hormat pada anggota keluarga khususnya yang lebih tua. Rasa hormat dalam keluarga ini tentu akan menjadi modal yang sangat baik bagi generasi muda untuk mengembangkan rasa hormat dan toleransi kepada sesama saat mereka hidup di tengah masyarakat sebab keluarga adalah sekolah nomor satu bagi pembentukan karakter seseorang. Penerapan kinship dalam kehidupan keluarga juga akan mempererat tali persaudaraan yang bila diolah dengan baik juga merupakan modal untuk memperkuat interaksi sosial sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang toleran dan saling menghargai keberagaman.
Berefleksi dari apa yang terjadi dengan sapaan-sapaan dalam keluarga Tionghoa tersebut, seyogyanya para orang tua mengenalkan kembali sapaan-sapaan yang telah mulai memudar dalam bahasa tradisional masing-masing. Sapaan seperti paklik, bulik, pakdhe, budhe, ku, tio, pek, encim, semestinya kembali diakrabkan di telinga generasi muda. Perayaan Imlek dapat menjadi kesempatan yang baik untuk bertemu dengan keluarga besar dan membenahi sapaan-sapaan yang kurang tepat. Dengan demikian sapaan-sapaan yang telah mulai memudar dalam sistem kekerabatan kembali popular, generasi. muda lebih mengenal hubungan kekerabatan dalam keluarga dan dalam skala yang lebih luas menjadikan warna budaya Indonesia lebih beragam namun indah dalam kebhinekatunggalikaan.
________________
Heny Hartono
Dosen FBS dan Sekretaris LPPM Unika Soegijapranata
►Tribun Jateng 1 Februari 2019 hal. 2, http://jateng.tribunnews.com