Kemenristek Dikti mengucurkan dana Rp 1 triliun dari APBN untuk riset atau penelitian serta pengabdian masyarakat oleh dosen.
Dalam beberapa kasus, oknum dosen melakukan praktik kecurangan untuk mencairkan dana saja.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Soegijapranata, DR Berta Bekti Retnawati, mengatakan tidak memungkiri ada praktik seperti itu dalam penelitian dosen.
Namun di Unika tidak ada dosen yang melakukan praktik demikian.
Saat ini ada tim auditor yang mengecek ke kampus-kampus karena ada dosen peneliti yang belum menuntaskan kewajiban setelah proposalnya disetujui.
“Setahu saya beberapa waktu lalu ada, tapi saya tidak mau menyebutkan dosen mana saja. Karena kami antar-kampus kan pasti tahu. Kalau Unika nggak ada,” kata Berta.
Praktik kecurangan, kata dia, bisa dilakukan tergantung niat pribadi sang dosen.
Apakah memang hanya ingin mengeruk keuntungan dari penelitian atau memang bersungguh-sungguh meneliti.
Meskipun demikian, Berta menegaskan praktik kecurangan bisa dilakukan dengan mudah beberapa tahun yang lalu.
Saat ini, kata dia, sulit.
“Sekarang ini penelitian sudah diatur demikian rupa. Sehingga ada aturan- aturan yang memang sulit bagi dosen untuk melakukan penelitian tidak benar atau abal abal,” ucapnya.
Menurutnya, saat ini sudah dikontrol dan diawasi berbagai pihak.
Tidak hanya Kemenristekdikti, tetapi juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk pihak yang mengawasi output atau luaran yang merupakan hasil penelitian, ada pihak yang mengauditnya.
“Rasanya sulit bagi peneliti untuk melakukan kecurangan saat ini,” ujarnya.
Dosen peneliti penerima hibah tahun sebelumnya yang belum menggugurkan kewajiban sebagaimana kontrak akan ditegur.
Apabila produk inovatif hasil penelitian, buku, jurnal nasional terakreditasi, atau jurnal internasional terindeks Scopus belum terwujud, yang bersangkutan bisa di-black list.
Kesempatan untuk nakal kecil lantaran sudah berorientsi pada output.
Output jelas, dana hibah akan cair.
“Semua ada datanya, dosen siapa, dari kampus apa yang belum menuntaskan kewajiban. Ini bisa diperiksa,” jelasnya.
Begitu juga dosen yang melakukan salin-tempel atau copy-paste hasil peneliti lain.
Hal itu akan terdeteksi lantaran sudah ada sistem yang dapat melacak plagiasi atau keaslian karya penelitian.
Anggaran untuk tiap proposal yang diajukan dosen dan disetujui bisa mendapatkan dana hibah berkisar antara Rp 10 juta hingga Rp 200 juta per judul penelitian.
Besaran dana tergantung dari jenis penelitian, apakah dasar, terapan atau pengembangan.
Pertimbangan nominal juga tergantung cluster universitas.
Ada empat pembagian cluster, yakni mandiri, utama, madya, dan binaan.
Unika masuk ke dalam cluster kedua atau utama.
Biasanya, plafon untuk cluster binaan berhak mendapatkan hibah maksimal Rp 2 miliar, cluster madya maksimal Rp 7,5 miliar, cluster utama maksimal Rp 15 miliar, dan cluster mandiri maksimal Rp 41,5 miliar.
Proses usulan penelitian dengan menggunakan dana hibah dari kementerian antara perguruan tinggi negeri dan swasta sama.
Hanya saja, di perguruan tinggi terdapat pengelompokan.
Misalnya, pengelompokan perguruan tinggi berdasarkan jumlah usulan.
Biasanya, kampus yang penelitiannya tiap tahun tinggi akan jadi satu.
“Misalnya pengelompokan tiga universitas negeri. Mereka memiliki jatah untuk penelitian sekian miliar, ya sudah tinggal tiga universitas itu yang membagi sendiri,” ungkapnya.
Menurutnya, dana penelitian tidak melulu dari kementerian.
Ada beberapa skema yang bisa dilakukan dosen untuk mendapatkan anggaran penelitian.
Di Unika sendiri terdapat model penelitian internal yang dananya dari universitas.
Namun, Berta mengakui nominalnya tidak sebesar dari kementerian.