Nathanael Kobogao dan Fitalia Tumuka merupakan mahasiswa Unika Soegijapranata atau Soegijapranata Catholic University (SCU) yang turut berdiskusi tentang dinamika pendidikan di Papua. Dalam diskusi ini, Drs. Albertus Istiarto, M.A, selaku PPMPT Unika Soegijapranata juga turut andil sebagai pembahas. Acara yang bekerja sama langsung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini diadakan secara daring via Zoom, pada (6/12).
Diskusi yang bertajuk “Bangga Menjadi Anak Papua yang Terdidik: Visi Anak Muda Membangun Papua ke Depan” juga mendatangkan:
- Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A. (Kepala OR IPSH BRIN)
- Luis Fenetruma, S.H. (Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN)
- Dr. E. Oos M. Anwas (Peneliti Riset Pendidikan BRIN)
- Drs. Zulfikri, M.Ed. (Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud Ristek)
- Mgr. Dr. Yanuarius Teofilus Matopai You, Pr. (Uskup Terpilih Jayapura)
Nathanael, yang berasal dari wilayah Papua Pegunungan menceritakan kondisi pendidikan masa lalunya saat bersekolah di SDN Inpres Ugimba. Sekolah tersebut terletak di Wilayah Ugimba yang notabene didiami oleh Suku Moni dan Dani.
Ia menambahkan, jika wilayah kampung tersebut hanya memiliki jumlah penduduk di bawah 500 orang. Selain itu, SDN Inpres Ugimba adalah satu-satunya tempat sekolah yang berada di sana.
“Proses pembelajaran (di SDN Inpres Ugimba) pernah ada di tahun 2007 sampai 2012. Setelah itu, sekolah tutup karena kekurangan tenaga dan guru. Pada tahun 2013, saya harus pindah ke Timika karena tidak ada kelas untuk kelas 5 dan 6,” terang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu.
Akan tetapi, saat ini SDN Inpres Ugimba telah aktif kembali. Namun, secara eksplisit Nathanael menggambarkan jika kondisi sekolahnya pun masih ada yang perlu diperhatikan. Contohnya, tidak ada listrik, tidak ada jalan transportasi yang layak, buku bacaan minim, dan hanya ada 3 guru yang mengajar.
Berangkat dari keadaan yang telah dilihat langsung oleh Nathanael terhadap wilayah Ugimba, Ia kini mempunyai visi 10 tahun ke depan untuk anak-anak Ugimba. “Anak-anak Ugimba bisa bersekolah, terdidik, tahu baca tulis, sehat jasmani dan rohani, bisa bangga terhadap daerahnya sendiri,” katanya tanpa ragu-ragu.
Sementara, Fitalia, mahasiswa Fakultas Hukum, menyinggung bahwa profesi guru saat ini cukup memprihatinkan karena peminatnya sudah sedikit. Menurutnya, profesi guru terkadang juga hanya menjadi profesi pilihan kedua akibat tujuan pekerjaan awalnya tidak tercapai.
“Semakin ke sini, di jaman yang modern ini, banyak orang mencari profesi yang berikan keuntungan tersendiri. Dalam hal ini, pasti Bapak Ibu yang berprofesi sebagai guru tentu gajinya tidak terlalu besar dengan pekerjaan pada umumnya. Nah, di sini orang mencari keuntungan, gaji guru yang pada dasarnya tidak pernah naik-naik bisa menjadi salah satu faktor penghambat kenapa banyak orang yang mau menjadi guru,” tutur perempuan asal wilayah Papua Pesisir.
“Jadi, profesi guru yang seharusnya menjadi profesi mulia karena memberikan pengetahuan lebih kepada anak. Malah dijadikan sebagai profesi sampingan ketika tidak mendapatkan pekerjaan,” tambahnya.
Bila ditelaah kembali mengenai permasalahan yang terjadi adalah kondisi geografis yang sulit, minimnya sarana dan prasarana pendukung, dan kesejahteraan para guru yang terkadang kurang memadai. Kemudian, faktor pendukung sosial psikologis dari masyarakat lokal dan lemahnya kontrol sosial terhadap kedisiplinan para guru perlu juga diperhatikan kembali.
Dalam diskusi, Albertus Istiarto sekaligus sebagai pendamping mahasiswa Papua, menekankan pentingnya konsistensi program yang diciptakan oleh pemimpin daerah. Ia mengharapkan, jika semestinya setiap pergantian pemimpin daerah seharusnya mampu melanjutkan program yang sudah ada atau bisa dikatakan sustainability.
“Misalnya begini, kebijakan lokal yang ada di lingkungan Papua harusnya nyambung. Kalau Bupati sebagai pemimpin lokal yang utama itu melakukan pembinaan terhadap pendidikan. Nah, kemudian Bupati yang baru juga harus melanjutkan, jangan sampai ada fragmentasi,” pungkasnya.
[Humas Unika Soegijapranata/Dim]