Perubahan iklim drastis menjadi buah bibir banyak lapisan masyarakat di seluruh dunia. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Eugenius Pradipta menyebut fenomena alam El Nino menjadi penyebab krisis perubahan iklim yang terjadi sepanjang tahun. El Nino sendiri diakibatkan lepasnya panas dari permukaan air Samudera Pasifik bagian Timur. Fenomena alam ini juga menyebabkan terjadinya peningkatan serta penurunan suhu Bumi secara drastis.
Hal ini juga memicu terjadinya cuaca ekstrim. Salah satunya adalah kebakaran hutan yang sempat melanda Kanada dan Amerika Serikat. Kekeringan sekaligus banjir juga terjadi di beberapa daerah di Afrika Timur. Selain itu, curah hujan tinggi dan berkepanjangan juga melanda Indonesia setahun ke belakang.
Selain El Nino, Arsitek Studio Akonoma, Yu Sing menilai meningkatnya pembangunan infrastruktur juga ikut bertanggung jawab atas terjadinya krisis iklim. “Arsitektur itu sendiri yang menyebabkan lingkungan kita rusak, karena memang peran dan porsi penggunaan energinya sangat besar,” ungkapnya dalam Seminar Tropical Architecture pada 23 April 2024. Forum tersebut diselenggarakan Program Studi Arsitektur Soegijapranata Catholic University (SCU) di Theater Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan.
Mengusung topik “Arsitektur Berkelanjutan di Indonesia,” Program Studi Arsitektur SCU berusaha menyoroti perubahan suhu drastis di Indonesia berikut bagaimana dunia arsitektur menyikapinya. “PPaaradoksnya adalah bagaimana arsitektur yang sifatnya merusak lingkungan tadi diminta untuk memperbaiki,” tambah Yu.
Isu Arsitektur Menjadi Fokus Relevan di Indonesia
Yu menilai pengelolaan air menjadi salah satu isu arsitektur yang dihadapi bukan hanya Indonesia, melainkan juga seluruh dunia. Selain itu, ketersediaan ruang hijau juga menjadi fokus yang relevan, mengingat adanya isu green architecture yang sedang naik daun. “Kita tahu kebermanfaatan pepohonan. Tetapi perkelahian terus terjadi antara ruang manusia dan ruang pohon. Jadi penting untuk bisa merespons bagaimana dua ini agar tidak saling bertabrakan,” jelas Yu.
Berkurangnya ketersediaan ruang hijau menurutnya timbul karena tidak adanya keinginan membangun konsep “Kota Kompak.” Konsep ini banyak dikembangkan di negara-negara maju guna mendukung efisiensi lahan agar mobilitas dapat dikurangi.
Seminar Tropical Architecture Best of Studio 2024
Selain Prof Pradipta, Yu juga ditemani Alumnus Program Studi Arsitektur SCU, Vinsensius Gilrandy Santoso. Selain berbagi pikiran, mereka juga berkesempatan hadir sebagai juri dalam Best of Studio (BoS) 2024 dalam External Examination di Theater Thomas Aquinas, Kampus 1 SCU Bendan. Karya tersebut merupakan Proyek Akhir (PA) terpilih mahasiswa Program Studi Arsitektur SCU yang juga dipamerkan di Galeri Henricus Constant, Kampus 1 SCU Bendan.