Semua ini bermula saat kemunculan Covid-19 yang pertama kali di Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019. Indonesia saat itu terasa masih baik-baik saja. Tidak ada larangan untuk turis mancanegara yang datang ke Indonesia. Namun pada akhir Februari karena kondisi virus ini semakin meluas di berbagai negara, akhirnya Indonesia mulai memperketat akses dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Dalam memperketat akses tersebut, hampir sama dengan negara lainnya, Indonesia juga menggunakan thermal detector untuk memeriksa semua penduduk dan pendatang yang masuk. Namun pada akhirnya kita semua menjadi tahu bahwa virus ini memiliki waktu inkubasi selama 14 hari. Ketika seseorang terinfeksi virus ini, belum akan muncul gejala-gejala yang ditimbulkan dari virus ini pada hari dimana orang tersebut melakukan perjalanan ke suatu daerah atau negara. Usaha mencegah penyebaran virus dengan menggunakan thermal detector saja akhirnya menjadi tidak cukup dalam mencegah penyebaran virus tersebut. Alat yang digunakan hanya untuk mendeteksi suhu tubuh. Sedangkan ada banyak hal yang tidak terdeteksi ketika seseorang terinfeksi Corona virus. Alhasil, Indonesia juga tidak berhasil membendung penyebaran virus ini masuk ke dalam negeri.
Hari demi hari orang yang terinfeksi virus ini semakin bertambah, yang menyebabkan institusi pendidikan di Indonesia menjadi terganggu kegiatan pembelajarannya. Pemerintah mengeluarkan surat edaran agar masyarakat menerapkan social distancing, sehingga semua institusi pendidikan berpindah menggunakan sistem pembelajaran daring. Semua kampus negeri maupun swasta yang ada di Indonesia, baik siap maupun tidak siap, harus menggunakan cara ini agar kegiatan belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa. Hanya saja dalam proses adaptasi dosen dan mahasiswa dalam menggunakan sistem pembelajaran daring ternyata tidak langsung berjalan mulus, sehingga kegiatan belajar mengajar belum bisa dilakukan secara optimal di minggu-minggu awal perkuliahan daring. Tidak semua mahasiswa merasa nyaman dengan kondisi seperti ini, begitu pula bagi dosen dan tenaga pendidik yang relatif tidak lagi muda. Banyak mahasiswa yang mengeluh karena perkuliahan yang dilakukan secara daring membuat banyak mahasiswa kurang bisa memahami materi yang diberikan. Cukup banyak dosen yang hanya memberikan materi menggunakan Power Point saja dan kemudian memberi tugas kepada mahasiswa. Sehingga mahasiswa menuntut peran dosen yang lebih dari sekedar itu.
Kampus yang merupakan institusi pendidikan tertinggi di Indonesia juga harus cepat tanggap dalam menanggapi permasalahan ini. Kegiatan pembelajaran yang tidak dilakukan melalui pertemuan fisik secara langsung terasa kurang dapat menjelaskan dan materi yang diberikan menjadi terasa lebih sulit diserap oleh mahasiswa. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua dosen ahli dalam menggunakan teknologi, tetapi setiap pengelola kampus umumnya selalu merespon cepat dalam memberikan pelatihan kepada dosen yang belum bisa memanfaatkan teknologi secara maksimal. Respon ini menjadi penting, terutama bagi dosen yang sudah berumur karena perlu waktu dalam mengoptimalkan teknologi dalam pembelajaran daring ini. Bagi dosen yang masih muda akan lebih mudah dalam mengoptimalkan kuliah online. Namun bukan berarti dosen yang sudah berumur kurang bisa mengoptimalkan teknologi untuk kuliah online ini. Karena ada juga dosen usia muda yang rasanya sangat berat untuk belajar sesuatu yang baru. Semua dosen memiliki porsi yang berbeda dalam hal menyerap teknologi. Sama halnya dengan mahasiswa yang memiliki porsi dan cara yang berbeda-beda dalam menyerap ilmu atau materi yang diberikan. Hanya saja, yang menjadi kendala dan tuntutan adalah banyak dosen yang tidak memberikan kuliah online tetapi memberikan tugas terus-menerus. Hal ini menjadi kurang bijaksana untuk dilakukan. Ketika dosen tidak menguasai pembelajaran daring, akan lebih membantu mahasiswa jika mau berusaha lebih lagi dengan cara memberikan materi Power Point yang ditambahkan dengan suara (audio) pada saat menerangkan materi yang diberikan, sehingga mahasiswa dapat melihat materinya sekaligus mendengarkan penjabaran dari materi yang diberikan.
Dengan adanya pembelajaran daring tentunya akan ada banyak mahasiswa yang harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli kuota internet. Tidak semua mahasiswa memiliki akses WiFi di rumah atau di kos. Mahasiswa juga memiliki keterbatasan dalam mencari WiFi gratis karena situasi dan kondisi seperti ini masyarakat harus menerapkan physical distancing. Terlebih untuk mahasiswa yang pekerjaan orang tuanya tidak terkena dampak Covid-19, tentunya tidak begitu bermasalah. Namun bagi orang tua mahasiswa yang pekerjaannya terkena dampak dari Covid-19 ini akan sangat kesulitan dalam hal keuangan. Beberapa universitas dalam menanggapi hal ini, ada yang memilih untuk memberikan subsidi uang kuota internet, namun ada yang menerapkan kebijakan perkuliahan daring dengan memilih media yang hemat kuota, ada pula yang mengajak kerjasama dengan operator telepon seluler (ponsel) yang ada di Indonesia untuk menjawab permasalahan ini. Sayangnya tidak semua operator ponsel mau memberikan CSR untuk pelanggannya dalam kondisi ini. Selain itu, juga akses ke portal pembelajaran yang dimiliki oleh setiap kampus.
Baca juga :
http://lldikti6.id/2020/03/31/indosat-dan-telkomsel-dukung-e-learning-unika/
Namun mahasiswa bukan waktunya untuk hanya terus menerima materi tetapi juga mencari tahu sendiri, karena mahasiswa berasal dari kata maha dan siswa. Arti dari kata maha adalah besar, sangat, amat, sedangkan dalam Bahasa sansekerta kata “maha” memiliki arti “agung” (great). Sedangkan kata “siswa” memiliki arti yang sama dengan pelajar atau orang yang sedang belajar. Dengan begitu mahasiswa merupakan pelajar yang tingkatannya lebih tinggi dibanding dengan siswa Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Sebagai mahasiswa tidak hanya menuntut untuk diberi materi terus menerus, tapi juga mengembangkannya materinya yang diberikan. Banyak cara dalam mengembangkan materi yang diberikan. Entah itu dengan membaca, dan mencari tahu dari berbagai sumber. Gelar mahasiswa bukanlah sembarang gelar yang diberikan. Tanggung jawab, ekspektasi, inovasi, kreatifitas, dan lainnya merupakan suatu hal yang menempel pada diri mahasiswa. Menjadi mahasiswa merupakan suatu tantangan serta kebanggaan tersendiri. Itulah kenapa mahasiswa disebut dengan agen perubahan bangsa. Mahasiswa selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan tantangan. Bagaimana cara mahasiswa dalam menghadapi situasi seperti ini pun akan disorot. Pandemi Corona virus yang terjadi menuntut kita untuk berjuang bersama dan lebih memahami, bukan justru ikut memperkeruh suasana.
Selain itu, setiap individu yang terkena dampak Covid-19 juga tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa melihat kondisi yang lebih luas. Terkadang pemikiran yang diambil hanya melihat dari satu sudut pandang saja dan berfokus pada hal kecil semata, sehingga tidak bisa melihat lebih dalam lagi atas masalah yang dihadapi, seperti yang disampaikan Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul Sang Alkemis. Apabila kita bisa melihat dan berpikir lebih dalam lagi, segala perubahan dan pandemi ini akan lebih cepat teratasi. Semua hal yang baik harus diawali dari setiap pribadi, berbagai hal yang dilakukan apakah sudah menjadi yang terbaik dari segala pilihan-pilihan yang dapat diambil. Entah itu untuk mahasiswa, dosen, kampus, dan semua orang yang terkena dampak dari Covid-19 ini. Banyak pelajaran yang kita bisa dapatkan dari pandemi Covid-19, yang jadi pertanyaan adalah seberapa jauh kita dapat membantu, sesuai porsi kita, dalam penanganan pandemi ini.
#learnfromhome #putusrantaicovid19
Internship Fair FIKOM SCU: Jembatan Mahasiswa Menuju Dunia Industri
Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Soegijapranata Catholic University (SCU) secara rutin