Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Jumat lalu (10/9) telah menyelenggarakan forum diskusi Ruang-Rabu dengan membahas tema “RUU Energi Bari dan Terbarukan ( EBT ): Untuk Siapa?” secara online di ruang virtual Unika.
Hadir dalam acara tersebut para narasumber yang memaparkan materinya terkait RUU EBT yaitu Dr A Sonny Keraf , Dr Ir Kardaya Warnika DEA, Irine Handika SH LLM, dan dari Unika sendiri yaitu Hotmauli Sidabalok SH MH.
Dalam paparan pembukanya di ruang zoom, Dr Sonny Keraf menyampaikan perlu tidaknya atau mendesak atau tidak RUU EBT di Indonesia.
“Bagi saya dalam arti tertentu, RUU EBT bisa tidak perlu, karena sudah banyak peraturan perundang-undangan tentang itu (misalnya, UU No 30 tahun 2007 tentang energi, PP No 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres No 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional), namun implementasinya khususnya berkaitan dengan energi terbarukan, bagaikan tarian poco-poco, yang artinya masih maju mundur,” paparnya.
Masalahnya adalah pada masih kurangnya keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Disamping itu masih adanya hambatan yang muncul untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, yang tentunya berdampak pada belum bisa dilaksanakannya peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Dengan demikian yang harus dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat adalah mengawasi dan mendesak pemerintah untuk serius serta konsisten melaksanakan aturan yang ada supaya bisa beralih ke energi terbarukan. Hal tersebut karena kondisi global sudah sangat jauh beralih ke energi terbarukan, sambungnya.
Sedangkan Dr Ir Kardaya Warnika DEA juga merespon bahwa DPR khususnya Komisi VII sudah mencoba menangkap aspirasi rakyat khususnya kalangan akademisi di perguruan tinggi. Dan saat ini draft sudah disiapkan oleh Badan Keahlian tetapi belum dibahas oleh masing-masing fraksi yang membuat DIM (Daftar Inventaris Masalah).
“Gelora untuk menuju ke energi terbarukan adalah merupakan keniscayaan, sehingga DPR perlu memikirkan untuk dibuatkan peraturan perundang-undangannya,” jelas Dr Kardaya.
Bagi saya apabila perundang-undangan itu dibuat, yang pertama harus memberikan kepastian hukum dan jangan sampai rancu serta menimbulkan multi tafsir, karena hal tersebut bisa berbahaya, ujarnya.
Yang kedua, perundang-undangan itu dibuat harus bisa mencapai tujuan nasional kita, yaitu kita ingin meningkatkan kemanfaatan energi terbarukan, karena bagus bagi lingkungan, renewable, biayanya makin lama makin murah.
Yang Ketiga perundang-undangan itu dibuat jangan sampai hanya untuk satu atau dua tahun saja. Dan jika perlu bisa diberlakukan selamanya, karena energi terbarukan jangka waktunya adalah panjang.
Saya berharap perundang-undangan yang kita buat tentang energi terbarukan masih selalu mendapatkan masukan dari masyarakat, agar perundang-undangan kita tidak lucu dan bisa diakui oleh dunia internasional, mempunyai kepastian hukum yang kuat dan berlaku secara forever, tandasnya.
Sementara narasumber dari akademisi yaitu Irine Handika SH LLM, dan Hotmauli Sidabalok SH MH juga memaparkan tentang penggunaan istilah energi baru apabila dipadankan dengan energi terbarukan akan memberi dampak hukum yang tidak sederhana, terutama menyangkut subyek hukum yang harus diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan untuk energi terbarukan justru lebih sederhana, sehingga apabila melihat hal tersebut RUU EBT bukanlah merupakan kebutuhan yang mendesak. (FAS)
Gelar Wicara Kemanusiaan dan Kebudayaan SCU; Menghidupkan Kembali Warisan Nilai Prof. Dr. M. Sastrapratedja, SJ
Soegijapranata Catholic University (SCU) menggelar Gelar Wicara di Theater Thomas