Peradilan semu adalah simulasi peradilan yang biasanya diikuti oleh mahasiswa hukum tingkat sarjana sebagai sarana untuk mempraktikkan teori hukum materiil dan hukum acara dalam lingkungan yang aman dan terkendali. Tata cara dan aturan yang diterapkan untuk peradilan semu biasanya sama dengan aturan peradilan yang asli. Dalam peradilan semu peserta diharapkan dapat menjiwai peran mereka sebagai penasihat hukum, pembela, atau jaksa ketika menyampaikan argumentasi mereka ke majelis hakim.
Terkait dengan hal tersebut beberapa waktu lalu bertempat di Hong Kong, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) telah mengadakan International Humanitarian Law Moot Court Competition. Dan salah satu dosen pengajar Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Unika Soegijapranata Jonathan Kwik telah terpilih menjadi salah satu juri yang berperan sebagai hakim dalam lomba peradilan semu tingkat Asia-Pasifik tersebut, disamping dua juri lain yaitu Mr. Bin Jiang dari Beijing dan Mr. Masanao Mori dari Jepang.
Jonathan menjelaskan tentang latar belakang diselenggarakannya International Humanitarian Law Moot Court Competition,” Secara khusus, International Humanitarian Law Moot Court Competition yang diselenggarakan di Hong Kong oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) ini menyimulasikan proses peradilan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag. Mahkamah ini berwenang untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang dari seluruh dunia. Hukum Humaniter, atau yang juga sering disebut hukum konflik bersenjata atau hukum perang, mengatur cara dan sarana bertempur jika terjadi peperangan antara dua Negara atau antara aparat Negara dan kelompok bersenjata. Contohnya, senjata yang dapat mengakibatkan luka yang berlebihan atau kesengsaraan yang tidak diperlukan (seperti senjata kimia) dan serangan yang membabi-buta (seperti bom tandan) dilarang menurut hukum humaniter. Pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter inilah yang disebut kejahatan perang dan yang menjadi fokus peradilan semu ICRC.”
Latar Belakang lomba
“Pertandingan peradilan semu ICRC di Hong Kong sudah berlangsung selama 15 tahun dan diselenggarakan setahun sekali. Tujuan utama diadakannya pertandingan ini adalah untuk menyebarkan pemahaman dan kepedulian masyarakat internasional, dan secara khusus pemahaman dan kepedulian calon sarjana hukum se-Asia-Pasifik, tentang Hukum Humaniter. Dengan diselenggarakannya pertandingan peradilan semu ini, diharapkan bahwa mahasiswa-mahasiswa hukum memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan teori Hukum Humaniter yang telah mereka pelajari, dan dapat meneruskan perjuangan ICRC dalam menyebarluaskan penghormatan terhadap Hukum Humaniter di mana pun mereka berada,” ungkap Jonathan.
Lebih lanjut Jonathan menjelaskan,“Salah satu tantangan terbesar dalam pertandingan semacam ini tidak hanya terletak pada kompetensi teoritis hukum mahasiswa, melainkan juga cara pada pembawaan dan penyampaian argumentasi ke majelis hakim dan cara menyanggah poin-poin yang diungkit oleh tim lawan.”
Peserta peradilan semu ditarik dari Negara-negara se-Asia-Pasifik, seperti Indonesia, Malaysia, Australia, Jepang, Selandia Baru, Iran, dan India. Biasanya, Negara-negara yang mengirimkan perwakilan untuk bertanding di Hong Kong menyelenggarakan ronde penyisihan terlebih dulu. Untuk pertandingan di Hong Kong Maret 2017 lalu, Unika Soegijapranata menjadi tuan rumah untuk seleksi nasional tingkat se-Indonesia.
Kriteria Juri
Saat ditanya tentang kriteria yang diperlukan untuk menjadi juri (hakim) dalam International Humanitarian Law Moot Court Competition, Jonathan menjelaskan bahwa latar belakang juri yang diundang untuk berperan sebagai hakim dalam peradilan semu cukup bervariasi. Secara garis besar, latar belakang hakim dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu staf ahli dari ICRC, akademisi seperti peneliti dan dosen, dan praktisi seperti penasihat hukum dan advokat. Dari tiga kategori juri ini, peran praktisi dalam majelis hakim agak berbeda, karena mereka biasanya lebih memperhatikan cara peserta membawakan argumentasi mereka, ketimbang staf ICRC dan akademisi yang cenderung lebih mempertimbangkan pemahaman peserta tentang hukum humaniter. Penyelenggara lomba biasanya memperhatikan bahwa majelis hakim mengandung kombinasi dari ketiga kategori juri di atas. Jadi, baik aspek teoritis maupun praktis dinilai dalam pertandingan ini.
“Untuk akademisi seperti saya, tentu diharapkan bahwa hakim memiliki pemahaman yang mendalam tentang bidang yang sedang diperdebatkan, yaitu Hukum Humaniter. Saya sendiri memiliki latar belakang baik dalam Hukum Humaniter maupun Hukum Pidana Internasional (hukum materiil dan hukum acara yang diterapkan oleh peradilan-peradilan pidana internasional, seperti ICC dan ICTY) dan kebetulan ditunjuk untuk menjadi Administrator National saat Unika menjadi tuan rumah, Desember 2016 kemarin. Atas kebaikan Delegasi ICRC di Jakarta, saya kemudian dinominasikan untuk menjadi hakim di Hong Kong,” tutupnya. (Fys)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi