Pada hari Kamis (20/5) telah diadakan kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI dengan tema “Kearifan Lokal dan Kemaritiman di Papua”.
Dalam kegiatan webinar tersebut hadir sebagai salah satu Narasumber adalah Drs Albertus Istiarto MA selaku dosen Unika Soegijapranata sekaligus juga sebagai pendamping mahasiswa Papua PPMTP Unika Soegijapranata.
Dalam paparan materinya, Drs Albertus Istiarto MA memaparkan tentang ‘Ci (perahu), arti dan makna bagi orang Asmat’.
“Pulau Papua itu memang besar dan susah menjelaskan bagi orang yang belum pernah datang ke tanah Papua dan melihat alat transportasi utama yang digunakan yaitu motor tempel atau perahu tradisional. Selain itu, di wilayah yang setiap hari mengalami pasang surut air laut ini, juga terdapat curah hujan yang tinggi dan curah hujan ini merupakan berkat bagi penduduk untuk keperluan sehari-hari baik untuk minum atau masak. Disamping itu, di daerah Papua ini juga merupakan daerah yang terpaksa menggunakan generator diesel sebagai pembangkit listrik,” demikian papar Drs Albertus Istiarto MA mengawali presentasinya.
Agats sebagai ibukota kabupaten Asmat, dulu masih menggunakan jembatan kayu untuk memudahkan komunikasi, namun selanjutnya oleh Pemda diganti dengan rangka beton yang didatangkan dari Surabaya oleh almarhum Bapak Yuvens Biakai selaku Bupati Asmat saat itu, sehingga sekarang terlihat seluruh jalan di kota Agats menggunakan sarana teknologi baru yaitu jembatan kerangka beton yang terlihat apik.
Dalam kearifan lokal, untuk mengenal air sungai, ada berbagai istilah yang dipakai yaitu di antaranya adalah air ‘meti’ yang istilah tersebut dipergunakan untuk menyebut kondisi sungai dengan air yang dangkal karena lagi surut. Sebaliknya ada pula istilah lainnya yakni air ‘konda’ yang digunakan untuk menyebut pasang air yang cukup tinggi sehingga memudahkankan mereka untuk bertransportasi, paparnya kemudian.
Yang menjadi keprihatinan adalah saat ini ‘Ci’ atau Perahu sangat kurang dan jarang dijumpai di kampung-kampung pedalaman Asmat. Berkurangnya perahu tersebut karena munculnya motor tempel “Ting-Ting” atau perahu motor bantuan dinas Kelautan.
Dengan motor tempel tersebut masyarakat tidak tertantang untuk membuat perahu sendiri karena sudah dimanjakan dengan perahu modern. Sudah sangat jarang dijumpai orang naik perahu dengan perahu tradisional di wilayah Asmat.
“Padahal apabila orang atau masyarakat mau menggunakan perahu dayung maka ada beberapa keuntungan, yaitu diantaranya adalah tidak tergantung pada bahan bakar atau bensin, juga ramah lingkungan, disamping itu badan juga menjadi kuat dan tidak mudah sakit,” jelasnya.
‘Ci’ atau Perahu bagi Asmat menjadi sangat penting karena menjadi lambang yaitu lambang kehidupan, dengan mengambil sagu ke hutan untuk menjala atau memancing ikan. yang kedua adalah lambang kesejahteraan keluarga, dimana suami istri bisa pergi ke bivak untuk rekreasi atau prokreasi serta lambang keperkasaan kaum lelaki, juga lambang kemandirian dan lambang ikatan sosial keluarga dengan dekatnya hubungan ayah, ibu dan anak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transportasi utama keluar masuk wilayah Asmat adalah kapal atau Perahu. Namun demikian hendaknya perahu tradisional jangan sampai hilang karena ini adalah lambang kehidupan orang asmat. Sementara untuk keperluan membawa bahan keperluan penting biasanya menggunakan motorboat dan motor tempel ting-ting, juga untuk keperluan transportasi jarak jauh, tandasnya. (fas)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi