Sebuah acara Serial Diskusi Arsitektur dan Perkotaan (SDAP) #2 yang dilaksanakan secara virtual telah diselenggarakan pada Selasa (4/5) oleh Fakultas Arsitektur dan Desain (FAD) Unika Soegijapranata, yang merupakan pengembangan Serial Diskusi Arsitektur dan Perkotaan (SDAP) yang membahas ‘Design Thinking’ dan ‘Arsitektur yang Ramah’.
Hadir dalam acara diskusi tersebut tiga narasumber dari dosen pengajar Prodi Arsitektur yaitu Ir Ch Koesmartadi MT IAI yang akan membahas tentang penggunaan Atap Empyak, selanjutnya Ir FX Bambang Suskiatno MT yang akan menyampaikan materinya mengenai bahan ekologis material dinding, serta Dr Ir VG Sri Rejeki MT yang juga akan memaparkan terkait karakteristik rumah hijau sebagai elemen local wisdom di Desa.
Dalam sambutan pembukanya, Agustinus Dicky Prastomo SIP MA mewakili Dekan FAD Unika, mengungkapkan apresiasinya dengan penyelenggaraan diskusi serial yang kali ini memasuki seri yang kedua.
“Gagasan – gagasan yang akan disampaikan oleh para narasumber, sudah sesuai dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) Universitas Katolik Soegijapranata adalah Eco Settlement atau Eko Pemukiman yang bermakna membangun perikehidupan yang berwawasan ekologis,” jelas Dicky Prastomo.
PIP ini juga menjadi pedoman Tri Dharma Universitas Katolik Soegijapranata yang menjiwai setiap kegiatan para pembicara kita nanti dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Kita berharap sesi SDAD #2 ini dapat menjadi manfaat bagi pengembangan arsitektur yang ramah, yang lebih manusiawi, humanis di masa depan. FAD tetap dapat menghasilkan Gagasan-gagasan yang memunculkan insan arsitektur yang smart, professional, excellence, creative dan tetap memperhatikan aspek kenyamanan dan kelestarian serta kepedulian terhadap lingkungan sekitar, ucapnya.
Sementara narasumber pertama, yaitu Ir Ch Koesmartadi MT IAI mengawali presentasi materinya dengn mengulas tentang atap empyak Indonesia. “Bahwa atap empyak itu pernah populer di Jawa. Jadi prinsip atap empyak itu bersifat gabungan antara lempengan-lempengan yang disatukan menjadi satu atap di dalam satu bentuk atap limasan. Jadi di mana-mana di rumah Jawa itu, atap empyak semua didirikan dengan dua empyak dan dua kejen, istilahnya itu menjadi sebuah atap yang terbuat dari raguman, kalau istilah Indonesia itu dirakit menjadi sebuah bentuk atap,” papar Ir Ch Koesmartadi .
Lebih lanjut Ir Koesmartadi juga menjelaskan bahwa atap empyak itu terdiri dari beberapa lapisan yaitu ada gaplok, usuk rapat, gapit, semua itu dianyam menjadi satu, berfungsi sebagai eksterior diatasnya sebagai penyangga atap, kemudian yang bagian bawah berfungsi sebagai interior.
Istilah empyak di Pulau Jawa itu terdiri dari tiga jenis limasan yaitu limasan dengan tiga gunungan, dua gunungan dan satu gunungan. Dan bidang-bidang empyak itu memiliki nama khas untuk pulau Jawa.
Posisi itu rata-rata berasal dari limasan dan berbentuk Joglo, bagi prinsip-prinsip yang bisa relevan kita sebut sebagai empyak, karena raguman ini tidak mengalami sambungan di dalam usuk, semua utuh.
kemudian lantai bukan satu-satunya pembentuk ruang melainkan empyak penaunglah yang melakukan pembentukan ruang, imbuhnya.
Dan dalam paparannya, Ir Koesmartadi juga menjelaskan beberapa hal penting yang melatar belakangi penggunaan empyak. “Membangun di daerah gempa bumi yang perlu diperhatikan adalah menggunakan bahan bangunan yang ringan dan lentur misalnya kayu. Kemudian konstruksi ikat memang merupakan konstruksi yang memberi kesempatan kepada bangunan untuk bergoyang apabila terjadi goyangan terhadap dirinya akibat gempa bumi.”
Ciri-ciri lempengan adalah lempengan tidak mengenal sambungan, memanjang kalau di Jawa di bahasa umum ada usuk, di Sumatera ada urur, di Solo ada gaplok, di Papua ada owonok itu masing-masing dan berfungsi bagi lempengan yang berfungsi sebagai lempengan atap sehingga punya kemiripan kemiripan ciri yang dimiliki oleh setiap lempengan.
Pada beberapa contoh yang disebutkan tadi tidak ditemukan konstruksi kuda-kuda. Rata-rata ciri lempengan itu bisa disebut diragum atau dianyam, kemudian beberapa ini menyebutkan bahwa atap-atap lempengan memiliki kerumitan di bagian atas (atap), atapnya miring atau menjulang besar di atas itu menjadi sebuah kebiasaan atau yang ada di atap-atap di seluruh Indonesia.
Volume ruang bergantung pada bentuk dan kemiringan atap kalau di Toba itu tinggi-tinggi, kalau di Papua kecil-kecil, kalau di Jawa itu banyak bambu sehingga bangunannya nggak begitu besar, saya menduga ada kemiripan kemiripan berdasarkan pada kondisi yang ada di pohon-pohon di sekitarnya, sehingga dengan demikian konsep pernaungan nampak jelas, tegasnya.
Komposit Perva-GRC Board Panel
Adapun narasumber kedua, yang disampaikan oleh Ir FX Bambang Suskiatno MT, memaparkan tentang penilaian ekologis dari bahan bangunan baru.
Jadi memang ini adalah penemuan saya dari beberapa kali penelitian yang terdahulu tentang Komposit Perva-GRC Board panel. Jadi ini memang sebuah kolaborasi komposit antara dua material yang pertama adalah perva nama seperti itu karena memang dibuat dari limbah kertas ditambah dengan tapioka yang berasal dari tanaman cassava kemudian di kolaborasi dengan GRC Board, demikian dipaparkan oleh Ir Bambang Suskiatno MT mengawali penjelasan materinya.
Jadi suatu kolaborasi dua bahan yang satu memperkuat yang lain karena dari dari material perva sendiri tidak tahan air maka kami kolaborasi dengan GRC untuk digunakan sebagai dinding luar bangunan.
Diawali dengan keprihatinan saya terhadap banyak sekali material yang tidak menunjang pada keramahan lingkungan, masing-masing material itu lebih pada berkontribusi pada kerusakan alam karena itu saya mencoba membuat sebuah bahan bangunan alternatif yang pertama berupa batu bata yang terbuat dari limbah kertas yang dikolaborasi dengan lem tapioka yang dibentuk secara koloid, kemudian dicetak dengan butiran-butiran kertas dan dibentuk berupa batu bata. Dengan begitu ada empat bahan dasar yaitu limbah kertas, tepung tapioka, GRC board dan lem putih atau media perekat Pvac, lanjutnya.
“Kami coba menilai tingkat ekologinya dengan berbasis volume dan skala. Dan ada enam aspek peniliaian yang kami teliti, yaitu (1) aspek energi terhadap pekerjaan, (2) nilai ekologis dari aspek peralatan produksi, (3) nilai ekologis aspek lokalitas bahan, (4) nilai ekologis aspek trasformasi bahan, (5) nilai ekologis kualitas unsur bahan, dan (6) nilai ekologis aspek paska pakai 3R,” urai Ir Bambang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan bangunan baru alternatif komposit Perva GRC dalam penggunaannya masih dalam tataran yang cukup tinggi, tandasnya.
Dan narasumber ketiga yang disampaikan oleh Dr Ir VG Sri Rejeki MT, menjelaskan tentang kearifan lokal sebagai sesuatu yang berlangsung lama dan menjadi pegangan hidup yang diyakini serta memberikan hal yang baik dan dapat fleksibel menyesuaikan waktu, demikian dikatakan oleh Dr Sri Rejeki dalam pengantar materinya.
Berkaitan dengan kearifan lokal itu kecenderungannya ada beberapa hal diantaranya adalah (1) peduli terhadap alam, (2) kepercayaan atau keyakinan, (3) kebutuhan manusia atau masyarakat, (4) pengetahuan manusia atau masyarakat, dan (5) perkembangan teknologi.
Sedangkan prinsip-prinsip tentang bangunan hijau, juga ada beberapa yaitu dalam bangunan hijau kepedulian terhadap manfaat lingkungan itu tinggi, sedangkan untuk kesadaran perilaku hijau bagi masyarakat di lereng gunung itu sudah menjadi suatu prinsip bahkan menjadi lifestyle mereka, dengan demikian mereka akan merasa nyaman sehat dan aman, paparnya.
Di Jawa Tengah itu banyak sekali gunung-gunung yang berjajar seperti misalnya Sindoro Sumbing, dimana antar dua Gunung itu juga ada jalan yang digunakan oleh masyarakat. Sementara itu di lereng gunung daerah Kledung, perumahannya tidak banyak pohon karena untuk menjemur tembakau. Sementara di luar desa tanahnya banyak sekali tumbuh pohon.
Demikian juga di Desa dan Dusun Kabelukan Desa Candiyawan. Juga tidak banyak pohon di dalam Desa karena digunakan untuk menjemur panen tembakau. Sehingga tidak memenuhi syarat penghijauan dalam lereng Pegunungan, maka butuh pengecualian untuk assessment, pungkasnya. (FAS)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi