Dalam kegiatan Diskusi Serial ke-8 LPPM Unika Soegijapranata atau yang dikenal dengan istilah ‘Di Rumah Unika’, kali ini Fakultas Kedokteran Unika menghadirkan dua narasumbernya yaitu Perigrinus H Sebong, MPH yang membahas tentang “Social Mixing dan Tren Penularan Kematian Pada Kasus Covid-19” dan narasumber lainnya adalah dr Jessica Christanti M Kes dengan materinya mengulas mengenai “Optimalisasi Telemedecine”.
Acara diskusi yang dipandu oleh Ferdinandus K Pukan MSc dan disiarkan secara online melalui ruang virtual Unika ini, dilaksanakan pada hari Kamis (9/7) dengan disiarkan melalui youtube.
Dalam paparannya, Perigrinus mengawali dengan perkembangan pandemi covid-19 secara global yang bisa bermakna positif maupun negatif.
“Munculnya covid-19 tampaknya membawa dampak positif pada besaran polutan yang ada di bumi, sehingga alam bisa kembali ke normal. Dampak positif lainnya adalah adanya kesadaran pola hidup bersih dan sehat, seperti penggunaan masker, kebiasaan menutup mulut saat bersin dan batuk, serta penyediaan hand sanitizer secara mandiri setelah selesai beraktifitas. Hal demikian adalah praktek yang sebenarnya sangat dasar, mudah dan murah dilakukan,” jelasnya.
Kebiasaan hidup sehat tersebut, tidak hanya supaya hidup kita selalu sehat tetapi juga untuk survival, artinya bagaimana kita bisa bertahan dalam masa pandemi covid-19 yang tidak tahu sampai kapan akan mereda, sambungnya.
Meski demikian adapula berita negatif terkait pandemi covid-19, yaitu sesuai pernyataan dari otoritas kesehatan, bahwa covid-19 ini dicurigai bisa menular melalui udara, tetapi yang sudah valid yaitu covid-19 ini bisa menjadi semacam triger secondary health crisis, yaitu krisis yang terjadi setelah punya dampak langsung dari krisis sebelumnya, ucapnya.
Dampak buruk covid-19 yang lain adalah bagaimana dampak covid ini bisa menjadi triger pada universal health coverage in times of crisis, artinya dampak covid ini mengingatkan kita terhadap sistem jaminan kesehatan kita (misalnya BPJS), sehingga apabila kita tidak punya jaminan atas kesehatan kita, maka akan menjadi masalah yang cukup serius.
“Jika kita berbicara masalah social mixing, maka sangat relevan apabila kita akan berbicara tentang transmisi penyakit menular. Sedangkan social mixing dalam cakupannya adanya dua fase, yaitu fase indoor (dalam ruangan) dan fase outdoor (di luar ruangan),” urai Perigrinus.
Untuk kalangan masyarakat Indonesia, adanya perbedaan sosial antropologi masyarakat yang berbeda-beda dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, bisa mempengaruhi dinamika transmisi covid-19, yaitu dalam dinamika epidemi yang didalamnya ada social mixing.
Peran komunikasi resiko sangat penting. Dan ternyata dalam social mixing, lokasi kontak fisik yang paling besar adalah pada relasi sosial kita, yaitu diantara teman dan saudara kita.
Sedangkan mengenai tren kematian di Indonesia, yang berbeda dengan tren kematian global per bulan Juni 2020 adalah pada usia kematian korban covid-19, yaitu di Indonesia rata-rata diatas 50 tahun bahkan ada cukup banyak yang usianya diatas usia 40 tahun. Sedangkan di tingkat global usia kematian banyak diatas usia 60 tahun.
Sedang dr Jessica lebih banyak mengulas tentang optimalisasi telemedicine karena penularan covid-19 adalah banyak yang dari droplet dan kontak.
“Ada penelitian apabila kita bersin, droplet bisa sampai 110 cm bahkan bisa sampai dengan 7 hingga 8 meter, tergantung seberapa kuat orang yang bersin itu, oleh karena itu kita dihimbau untuk physical distancing,” paparnya.
Untuk mengatisipasi kekhawatiran masyarakat terkait pandemi covid-19 melalui kontak secara fisik (physical distancing), maka dengan telemadecine ini pasien dapat berkonsultasi dengan petugas kesehatan secara personalize dan aman.
Telemedecine sendiri untuk saat ini meliputi beberapa bidang, antara lain teleconsultation, telemonitoring, telecollaboration, dan teleexprtise. Sedangkan komponen mutu yang menjadi standar dalam pelayanan kepada pasien seliputi safe, efektif, berfokus pada pasien, timely, efisien, dan equatibilitas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam telekonsultasi yaitu pasien harus jelas dan memahami konsekuensi dari telekonsultasi, perlunya panduan telekonsultasi sesuai standar, juga perlunya training tenaga dokter maupun kesehatan untuk melakukan telekonsultasi, kemudian monitoring dan evaluasi terhadap kepuasan pasien dan kepatuhan dokter untuk menetapkan alur yang ada maupun cyber security testingnya apakah rutin dilakukan atau tidak, pengembangan protokol, serta standarisasi input, process, output dan impact agar pelayanan pasien akan menjadi lebih baik dengan meminimalkan resiko, pungkasnya. (FAS)
Internship Fair FIKOM SCU: Jembatan Mahasiswa Menuju Dunia Industri
Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Soegijapranata Catholic University (SCU) secara rutin