Untuk membangkitkan kesadaran dalam melindungi cagar budaya Indonesia, Fakultas Hukum dan Ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata mengadakan Seminar Perlindungan Benda Cagar Budaya berdasar Perspektif Hukum Humaniter Internasional. Seminar diadakan pada hari Rabu (20/9) bertempat di Gedung Henricus Constant lantai 1.
Seminar ini mengundang 3 orang narasumber antara lain Rina Rusman, SH., sebagai Legal Advisor Delegasi ICRC (International Committee of the Red Cross) Jakarta; Dr. Trihoni Nalesti Dewi, SH., M.Hum sebagai dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Komunikasi Unika Soegijapranata; dan Kushartoyo Budi Santosa sebagai Communication Officer ICRC Jakarta dan turut hadir Wakil Walikota Semarang, Hevearita Gunaryanti.
Dalam seminar, masing-masing narasumber memaparkan materinya masing-masing dimana Rina Usman menyampaikan materi mengenai Perspektif Hukum Internasional tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya dari Dampak Konflik Bersenjata; Trihoni Nalesti menyampaikan tentang materi Sistem Hukum Nasional tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya dari Dampak Konflik Bersenjata; dan Kushartoyo Budi Santosa yang menyampaikan tentang Tanggapan terhadap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Benda Cagar Budaya pada Situasi Konflik Bersenjata
“ICRC yang dikenal sebagai Palang Merah Internasional biasa berhubungan dengan penyelamatan korban baik korban perang hingga korban bencana juga memperoleh mandat untuk penyebarluasan peraturan hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan Benda Cagar Budaya. Selain penyebarluasan, ICRC juga membantu masyarakat internasional untuk menjaga kesesuaian hukum internasional terkait tata ruang dan lingkungan benda cagar budaya saat masa damai dimana dalam hal ini harus dipastikan benda cagar budaya tidak terlalu dekat sehingga tidak mudah terpapar bahaya dari objek militer dan objek yang rawan militer. Misalnya saja tidak dekat dengan stasiun, bandara, ataupun pelabuhan yang dalam masa perang digunakan untuk operasi militer. Selain memastikan tata ruang benda cagar budaya, ICRC juga bertugas mengingatkan dan mendukung masyarakat untuk dapat mempersiapkan kapasitasnya untuk melakukan tindakan darurat terhadap perlindungan benda budaya saat perang terjadi bisa dengan pemindahan objek militer atau penyelamatan benda budaya bergerak. ICRC juga mengingatkan negara untuk perlunya sistem informasi jelas terkait keberadaan benda budaya di wilayahnya. Hal ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang, terbukti Bu Ita telah menyampaikan bahwa jumlah benda budaya di Kota Semarang berjumlah sekitar 105” jelas Rina Usman tentang hubungan ICRC terhadap perlindungan benda budaya.
Sensivitas Peraturan Daerah Belum Terlihat
“Seminar ini sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan kita mengenai pentingnya mempersiapkan benda cagar budaya dari dampak konflik bersenjata karena selama ini masyarakat Indonesia masih selalu yakin bahwa situasi Indonesia akan selalu aman. Di dalam hukum Nasional, kerusakan terhadap benda budaya hanya disebabkan karena pelapukan, rob, dan hal-hal yang berkaitan dengan pencurian benda budaya. Hal ini menandakan sensitivitas kita terhadap perlindungan cagar budaya saat situasi konflik tidak ada karena memang media nasional tidak sensitif terhadap kerusakan benda budaya saat situasi konflik. Tetapi, menjadi ironi mudah ditemukan berita kerusakan benda budaya saat konflik internasional seperti ISIS dan Perang Yugoslavia. Tetapi, kita tidak pernah tahu dan mengidentifikasi bagaimana benda budaya nasional rusak akibat konflik dalam negeri. Misalnya kita tidak tahu jumlah benda budaya yang rusak saat konflik di Aceh. Juga saat konflik pecah di Ambon, meskipun konflik yang terjadi merupakan konflik horizontal. Dari contoh tersebut, yang menjadi penekanan saya adalah perlunya situasi pencegahan juga diperlukan saat masa damai dalam arti meskipun bukan konflik bersenjata, benda budaya juga rawan mengalami kerusakan. Dari konflik yang pecah di Ambon, memakan korban sebuah benda budaya, Gereja Tua Hila yang telah berdiri 200 tahun dibakar massa dan saat ini gereja tersebut telah dipugar dan kehilangan keasliannya. Adapun pembakaran bertujuan untuk melenyapkan peradaban komunitas simbol gereja. Dari peristiwa pembakaran, banyak orang yang tidak menyadari bahwa benda sipil yang dibakar memiliki nilai budaya tinggi dan pelacakan sejarah”jelas Trihoni
“Saya menyayangkan ratifikasi (proses pengesahan Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional-red) Konvensi Den Haag tahun 1954 tentang Perlindungan Benda Budaya pada saat Konflik Bersenjata hanya menjadi Keputusan Presiden karena mungkin dirasa materi perlindungan cagar budaya masih kurang begitu penting dalam kehidupan bangsa, kedaulatan negara, serta batas-batas negara. Ironi hingga saat ini, terdapat 31 peraturan daerah yang telah mengatur mengenai cagar budaya, tetapi seluruh peraturan tersebut memiliki inti bahasan yang sama mengenai kewajiban dalam keadaan darurat yang terdapat dalam 1 pasal dan isinya sama dengan UU no 11 tahun 2010. Dari hal tersebut, sensitivitas Peraturan daerah tentang Perlindungan Cagar Budaya masih belum terlihat” tutup Trihoni. (Cal)
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah