Dalam sebuah acara siaran RRI Pro 1 Semarang pada Minggu (17/1) telah diselenggarakan dialog lintas Semarang sore, hasil kerjasama antara LPPM Unika Soegijapranata dengan RRI Pro 1 Semarang, serta mengundang salah satu narasumber Ketua Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan (RIL) Unika Soegijapranata Dr RR MI Retno Susilorini ST MT, disertai pemandu acara Hana Pertiwi.
Dalam edisi acara tersebut dibahas topik tentang “Pengurangan Resiko Bencana yang Responsif Gender”.
Membuka percakapan dalam sesi dialog tersebut, Hana selaku pemandu acara mengawali pertanyaan dengan kondisi bencana alam yang terjadi di tahun 2021 yang menjadi ‘momok’ bagi masyarakat di wilayah Indonesia mengingat letak dan kondisi geografis Indonesia.
“ Di tahun 2021 ini sudah terjadi beberapa bencana alam diantaranya berupa tanah longsor, banjir, gempa bumi, jatuhnya pesawat dan bencana yang lain. Sebenarnya apa yang harus kita waspadai terkait bencana yang terjadi dan menjadi ‘momok’ bagi kita? mengingat secara geografis wilayah Indonesia tampaknya ‘kurang menguntungkan’?”, tanya Hana.
Merespon pertanyaan tersebut, Dr Retno Susilorini mencoba menjelaskan melalui definisi bencana menurut undang-undang.
“Definisi bencana menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, disebutkan bahwa bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan maupun penghidupan masyarakat. Dan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor alam maupun non alam,” paparnya.
Sedangkan korbannya bisa pada korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Sehingga bencana yang akan kita hadapi nanti adalah bencana alam, bencana non alam dan juga bencana sosial, lanjutnya.
Sedangkan apa saja yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi bencana yang timbul, Dr Retno Susilorini menyampaikan beberapa hal diantaranya adalah perlunya disadari adanya kerentanan pada kelompok-kelompok tertentu pada saat menghadapi bencana. Oleh karena itu kita harus selalu bersiaga, dan menentukan suatu aksi atau suatu tindakan yang dapat mengurangi resiko bencana.
“Pengurangan resiko bencana ini harus dilakukan secara berkesinambungan, berkelanjutan dan harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia,” ucapnya.
Pengurangan resiko bencana harus dilakukan melalui upaya yang sistematis, sebab dengan sistematis tersebut ada analisis dan ada cara untuk mengelola faktor-faktor penyebabnya.
Pemerintah Indonesia juga sudah ikut dalam konsensus global untuk pengurangan resiko bencana. Mulai diratifikasinya bersama dengan negara-negara lain sejak tahun 1990 sampai sekarang. Bahkan Indonesia memegang peran penting dalam suatu konferensi yang menghasilkan Bali Action Plan (2007).
Dan pemerintah secara kebijakan juga sudah mengimplementasikannya pada undang-undang, regulasi dan kebijakan, bahkan ada 24 peraturan setara dengan UU yang mengatur secara eksplisit tentang pengurangan resiko bencana, baik itu bencana akibat perubahan iklim, bencana geologis, dan juga bencana yang lain.
Manajemen Pengungsian dan Mitigasi Bencana
Disinggung mengenai perlunya tempat penampungan sementara, saat ada masyarakat yang harus mengungsi karena ditimpa bencana, Dr Retno menegaskan kembali bahwa kelompok-kelompok yang rentan terhadap terjadinya bencana, biasanya sering dijumpai di lapangan yaitu kelompok perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu kelompok rentan ini perlu mendapat perhatian terutama pada manajemen pengungsian.
“Untuk melindungi kelompok rentan pada saat terjadi bencana, maka perlu dilakukan pengurangan resiko bencana yang responsif gender,” tutur Dr Retno.
Pengurangan resiko bencana yang responsif gender melibatkan para pamengku kepentingan, yang pertama adalah pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yaitu dengan meningkatkan kemampuan dan ketahanan perempuan saat terjadi bencana. Atau sebelum terjadi bencana dengan menjadi agen perubahan dengan meningkatkan pengetahuan dan peran kritis perempuan.
Yang kedua adalah perlunya ditingkatkan koordinasi dari tingkat kementerian hingga ke dinas-dinas dibawahnya baik lingkup Provinsi maupun Kabupaten Kota, serta lembaga masyarakat maupun akademisi harus kita dorong agar pengurangan resiko bencana yang responsif gender dapat mengurangi korban.
Mengenai mitigasi bencana, dalam beberapa penelitian diketahui bahwa pendidikan tentang kebencanaan itu belum menempati suatu prioritas yang penting seperti mata kuliah yang lain. Dan ternyata pendidikan kebencanaan justru didapat dari pendidikan non formal. Maka pemerintah perlu didorong, supaya pendidikan kebencanaan bisa tersentuh dan sistematis, termasuk pengetahuan non formal dengan penyuluhan-penyuluhan di daerah rawan bencana, sehingga diharapkan pemerintah dapat responsif terhadap pengurangan resiko bencana yang responsif gender di segala lini, pungkasnya. (FAS)
Antusiasme Alumni SCU Ikuti Campus Hiring Bersama PT Konimex
Sebanyak 35 alumni Soegijapranata Catholic University (SCU) antusias mengikuti Campus Hiring yang