Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Universitas Katolik Soegijapranata Semarang kembali mengadakan Konferensi Politik Hukum dan Kekuasaan dengan tema “Praktek Kuasa dan Komunikasi dalam Hukum dan Politik di Indonesia”. Konferensi diadakan pada Kamis (15/9) di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas.
Menghadirkan narasumber P. Donny Danardono, S.H., Mag;Hum (Praktisi Hukum dan Dosen Unika Soegijaparanata), yang membawakan materi “Hukum sebagai Diskursus” ia membukanya dengan memaparkan 2 kasus yang ia temui dalam risetnya mengenai kasus pelecehan seksual yang diselesaikan dengan cara yang berbeda oleh sebuah LSM hukum, kasus pertama dimana ada perempuan korban pelecehan seksual di tempat kerjanya, perempuan tersebut beragama muslim dan ia meminta LSM untuk mendampinginya di pengadilan. Kasus yang kedua menimpa seorang perempuan keturunan etnis Tionghoa dan beragama Konghucu yang mengalami pelecehan seksual. Ia kemudian meminta LSM untuk mendampinginya di pengadilan. Akan tetapi dalam proses membawa perkara ke pengadilan, keluarga wanita tersebut meminta agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan.”Dari kedua kasus tersebut, dapat disimpulkan bukan hanya gender yang berperan dalam hubungan pria dan wanita melainkan ada unsur agama, etnisitas dan dan juga ras. Dapat terlihat bagaimana hukum negara harus bersaing dengan narasi tentang diskriminasi etnis dan agama dalam sebuah kasus, sebab tak semua etnis dan agama yang bisa menggunakan hukum pidana yang sama untuk melindungi dirinya” paparnya.
Implementasi teori dari kedua kasus tersebut seperti diungkapkan Carol Smart “Hukum bukanlah satu-satunya norma yang dapat menjamin kehidupan dikarenakan hukum harus bersaing degan norma lainnya seperti norma agama, sopan santun, moral, adat istiadat dalam menentukan benar tidaknya tindakan seseorang” atau dapat disimpulkan Carol Smart menganggap bahwa hukum hanyalah sebuah “episteme” atau bisa disebut sumber pengetahuan mengenai baik dan buruk.
Pendapat dari Carol Smart merupakan intisari pendapat Michel Foucault yang berlaku pada zaman modern dimana Foucault menjelaskan “Pada mulanya, hanya lembaga dan orang tertentu yang memiliki kuasa atas hukum, kuasa yang dimaksud bersifat represif seiring berjalannya waktu bergeser dalam bentuk ilmu pengetahuan semata”.
Kekuasaan dapat dimanage
Narasumber kedua yang dihadirkan adalah Benny K. Harman, S.H., M.H. Memulai kegiatan politik sedari bangku sekolah menengah atas, membawanya menuju ranah Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai anggota DPR selama 20 tahun, ia telah menulis berbagai macam ensiklopedi politik salah satunya “Bangunan Pancasila” yang telah memiliki 4 jilid berisikan berbagai macam istilah politik, ekonomi, sosial. Karya lainnya yang ia lahirkan “Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila” yang menurutnya dapat mempengaruhi pikiran Soeharto saat itu dalam menjalankan pemerintahan.
Menurutnya, masih ada isu dari sejarah masa lalu bangsa yang dapat berlaku hingga saat ini yaitu “Negara berketuhanan dan agama-agama” yang menyangkut tentang relasi agama dan bangsa, hubungan agama islam dan negara yang masih dapat dimasukkan sebagai “diskursus” atau rencana bagi jalannya roda pemerintahan ke depan.
Berbicara mengenai kekuasaan, Narasumber yang sering dipanggil Pak Kris ini, mengutip pernyataan dari Li Yunhe ( janda Mao Zedong) dimana “seks itu menggiurkan, tetapi kekuasaan jauh lebih menggiurkan daripada seks”.
Berbekal dari kekuasaan yang ada, semua bisa diraih termasuk dalam bidang ekonomi. Semua dalam bentuk uang, hukum memiliki kemungkinan menjadi bahan transaksi. Berbekal pengalamannya sebagai anggota DPR, Pak Kris mengungkapkan di balik sejarah Bangsa Indonesia. Menurutnya, Bung Karno memberi teladan bagi bangsa Indonesia dari tindakannya yang benar-benar selalu ada untuk rakyat Indonesia, tetapi tetap saja masih terjadi perselisihan dikarenakan Pancasila masih belum firm saat itu.
Saat Soeharto menjabat presiden, ia pun seolah-olah memberikan tanda tanya besar bagi kaum sipil mengenai arah perjalanan bangsa. Dan benar, saat itu rakyat sipil berharap bangsa ini tetap berpegang teguh pada Pancasila. Sebagai respon dari keinginan rakyat sipil, Soeharto mencanangkan untuk mengkonkritkan Pancasila yang mendasari adanya P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kemudian oleh kaum reformis tahun 1998, P4 yang diatur oleh Ketetapan No. 2 tahun 1978 ditiadakan begitu saja. Menurut Pak Kris, hal ini merupakan sebuah tindakan yang cukup bodoh dan cukup fatal dikarenakan tidak ada tempat lagi bagi Pancasila untuk bernaung dalam diri individu remaja saat ini. Karena seharusnya, P4 merupakan saran sosialisasi pemasyarakatan atau etika nasional. Dari peristiwa tersebut, negara Singapura mencoba untuk mencontoh dengan menerapkan sumpah ” I’m Singaporean yang berjiwa pluralistik serta memiliki wawasan luas” yang harus diucapkan oleh siswa tingkat sekolah dasar sampai siswa tingkat sekolah menengah atas sesaat sebelum pelajaran dimulai. Paham yang beredar saat ini, reformasi adalah kebebasan dari totaliter Presiden Soeharto; lepas dari kendali Soeharto, kendali militer, kendali Golkar. Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan, kekuasaan dapat dimanage untuk kesejahteraan rakyat tapi juga bisa untuk kesejahteraan golongan kita sendiri (cal).
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah