Diskusi serial LPPM Unika Soegijapranata kali ini memasuki serial yang kelima sejak dimulainya diskusi yang pertama pada pertengahan Mei lalu.
Dalam diskusi serial kelima ini, membahas topik yang dipaparkan oleh dua narasumber dari Fakultas Bahasa dan Seni Unika Soegijapranata, yaitu oleh Bernadus Retang Wohangara SS MHum dengan pokok bahasan mengenai “Meme dan Covid-19”, serta oleh Yosaphat Yogi Tegar Nugroho SSn MA yang membahas mengenai “Seni Pertunjukkan Musik dan Covid-19”.
Diskusi serial yang dipandu oleh moderator Dr Angelika Riyandari SS MA ini dilangsungkan secara daring melalui ruang virtual Unika dan ditautkan secara luas melalui channel youtube, supaya publik bisa mengikuti acara tersebut.
Dalam paparannya mengenai meme dan covid-19, Retang Wohangara dalam penjelasan materinya melihat adanya perkembangan budaya komunikasi yang terjadi di tengah pandemi covid-19.
“Pada dasarnya manusia bisa berkomunikasi dengan berbagai cara, antara lain yang pertama adalah dengan komunikasi verbal berupa kata-kata, kemudian yang kedua melalui komunikasi non verbal atau bahasa dengan gerak tubuh, selanjutnya komunikasi secara tertulis dan yang terakhir dengan menggunakan komunikasi visual,” papar Retang.
Dan meme tampaknya bisa menggabungkan dari dua atau tiga kriteria komunikasi itu sekaligus sehingga saat ini menjadi populer terutama di masa pandemi covid-19 ini, lanjutnya.
“Hal lain, meme juga menjadi menarik karena ada internet sehingga bisa tersebar luas, dan meme ini jika menurut pendapat saya bisa menjadi terapi imaginer, karena isi dari meme ini bisa menjadi hiburan karena lucu dan bisa membuat tertawa sebagai hiburan di tengah efek pandemi covid-19 yang menyulitkan banyak pihak, tapi juga bisa berupa kritik,” jelasnya.
Meme ini bisa populer juga karena penyebarannya bisa cepat dan isinya tidak menggurui. Disamping itu ada istilah yang disebut dulce et utile dari Horace yaitu seorang pujangga Romawi yang mensyaratkan karya satra yang baik haruslah mengandung makna indah dan bermanfaat. Dan menurut saya meme itu mengandung dua hal itu, sehingga dirasa lucu, menarik, menghibur dan saat yang sama meme juga memberikan kritikan, pesan atau masukan sehingga menjadi bermanfaat.
Pesan atau masukan itu dalam masa pandemi ini bisa digunakan dalam sosialisasi kepada masyarakat tentang social distancing, physical distancing atau penggunaan masker dan hand sanitizer misalnya, ungkap Retang.
Jadi pesan atau kritikan bisa dilakukan namun juga tetap menghibur sehingga bisa dikatakan menjadi terapi imaginer bagi siapapun yang melihatnya, tandasnya.
Sedangkan dalam paparan narasumber kedua, Yogi Tegar Nugroho MA banyak mengulas tentang pertunjukan seni musik, yang dalam masa pandemi covid-19 juga terdampak.
“Dalam kebijakan pemerintah yang mengatur tentang penanggulangan pandemi covid-19, salah satu yang terdampak akibat pandemi covid-19 adalah kelompok pekerja seni,” ungkap Yogi.
Kelompok pekerja seni ini, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Ditjen Kebudayaan setidaknya ada 40.081 pekerja seni yang terdampak oleh pandemi covid-19, imbuhnya.
Para pekerja seni ini tidak bisa beraktifitas seperti biasanya, karena adanya larangan kerumunan banyak orang, sehingga mereka tidak bisa lagi mengadakan pertunjukan.
Maka perlu ada jalan keluar atau terobosan baru bagi para pekerja seni itu, yang salah satunya adalah pertunjukan seni musik untuk bisa tetap survive, dalam kondisi yang demikian, paparnya.
Karena sejalan dengan perkembangan era digital saat ini, sebetulnya ada wadah media yang bisa digunakan untuk mengekspose kreatifitas seni mereka. Bahwa pertunjukan seni musik saat ini tidak harus dilakukan dengan tersedianya ruang untuk panggung seni pertunjukan secara riil, tetapi bisa dilakukan secara digital seperti misalnya melalui youtube.
Artinya apabila penggiat seni tersebut bisa mengembangkan konten kreatif mereka di youtube, maka bisa dimungkinkan mereka akan mendapatkan manfaat lain dari youtube, berupa reward atas karya mereka di laman itu.
Atau bisa juga menjadi internet marketer, yaitu dengan menawarkan membuatkan lagu, atau merchandise kaos, dan produk lainnya.
Adapun cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan bergabung dengan program Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang memang disediakan oleh pemerintah bagi para pekerja seni untuk bisa diendorse oleh pihak yang membutuhkan.
Sedangkan solusi terakhir adalah mendapatkan PKH (Program Keluarga Harapan) dari pemerintah melalui Menteri Sosial Republik Indonesia. Yang termasuk didalamnya adalah mereka pekerja seni yang biasanya memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan (sebelum ada wabah Covid-19), tidak punya pekerjaan lain selain berkesenian, sudah berkeluarga, dan belum mendapat bantuan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan sosial (bansos) lainnya. (FAS)
SCU Peringati 128 tahun Kelahiran Uskup Pribumi Pertama
Segenap sivitas Soegijapranata Catholic University (SCU) mengikuti Misa Syukur di