Dalam sebuah data menunjukkan sampah plastik yang dihasilkan oleh Indonesia berkisar dalam rentang 0,48 hingga 1,29 juta metrik ton plastik di tiap tahunnya. Jumlah ini pun menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik di laut terbesar ke-2 di dunia. Hal ini pun cukup menjadi ironi dikarenakan posisi Indonesia tepat berada di bawah Tiongkok. Namun di sisi lain, Tiongkok juga dinobatkan sebagai negara pendaur ulang limbah plastik terbesar ke-2 di dunia. Dari salah satu hasil penelitian dilakukan pemetaan 20 sungai yang menyebabkan polusi sampah plastik dan diperoleh hasil 4 sungai besar di Indonesia (Brantas, Bengawan Solo, Serayu, dan Progo) masuk ke dalam pemetaan tersebut.
Terkhusus di Kota Semarang, sampah yang dihasilkan berjumlah 1229 ton sampah setiap harinya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13% didominasi oleh sampah plastik. Luasnya dampak polusi sampah plastik di laut tentunya semakin mengancam kehidupan biota laut, untuk itu Program Pascasarjana dan Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata mengadakan Seminar dan Workshop “Aksi Kolektif Mengurangi Sampah Plastik yang tidak Terkelola di Kota Semarang” bertempat di Gedung Thomas Aquinas Lantai 4 pada hari Selasa (17/4) yang menghadirkan 2 narasumber Inneke Hantoro, S.TP., MSc. yang merupakan wakil akademisi sekaligus Dosen Teknologi Pangan Unika dan Hotmauli Sidabalok, SH., Cn., M.Hum yang juga Dosen Magister Lingkungan dan Perkotaan di Unika Soegijapranata serta segenap stakeholders seperti Pemerintah Kota Semarang yang diwakili oleh Gunawan Saptogiri sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang, organisasi non-pemerintah yang diwakili oleh Arief Khristanto dari Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari), dan pengusaha yang diwakili oleh Harjanto Halim sebagai owner PT. Marifood.
Jalin Kerjasama Dengan Pemerintah Denmark
Menurut Gunawan, dari seluruh sampah yang dihasilkan di Kota Semarang hanya sebanyak 80% (1000 ton/ hari) sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sedangkan sisanya diolah oleh masyarakat seperti pemulung ataupun masuk ke bank sampah, namun Gunawan juga tidak memungkiri sisa sampah yang dikelola masyarakat masih banyak yang dibuang sembarangan yang dapat bermuara di laut. Dari 1000 ton yang diolah di TPA, sebanyak 250 hingga 350 ton diolah menjadi pupuk.
“Pemerintah Kota Semarang telah bekerjasama dengan Pemerintah Denmark untuk menanggulangi sampah dengan mengambil gas metana dari sampah yang dihasilkan dan diubah menjadi energi listrik 0,8 MW. Di sekitar TPA, juga terdapat warung yang menggunakan sampah plastik sebagai alat pembayaran. Dari TPA tersebut, gas metana yang diperoleh juga telah disalurkan ke 150 KK (Kepala Keluarga) sekitarnya guna sebagai bahan bakar kompor gas” terang Gunawan Saptogiri menjelaskan peran Pemerintah Kota Semarang.
Dalam penjelasan selanjutnya, Gunawan juga menegaskan melalui Peraturan Presiden, Kota Semarang yang semula bersama 2 kota lainnya yaitu Makassar dan Tangerang dan sekarang telah berkembang bersama 8 kota lainnya dinobatkan sebagai kota percontohan yang mengelola sampah menjadi energi listrik. Di Kota Semarang juga akan dibangun incinerator (alat pengubah energi pembakaran sampah menjadi uap) dapat mengolah sampah dengan kapasitas 1000 ton hingga menghasilkan listrik sebesar 500 MW.
Eco-brix
Menyikapi panasnya isu sampah plastik, Harjanto Halim selaku wakil dari pihak pengusaha makanan mengakui pihak pengusaha masih sangat sulit untuk melepaskan bahan plastik sebagai pengemas makanan karena dari sisi positifnya menurut Harjanto sangat banyak terutama tanpa plastik, sebelum makanan sampai di tangan konsumen dapat mudah tercemar dan tentunya biaya produksi akan menjadi mahal apabila diganti dengan bahan lain seperti kaca ataupun kaleng sedangkan teknologi kemasan terbarukan seperti kemasan biodegradable masih sangat sensitif terhadap berbagai faktor salah satunya kelembaban udara
“Namun kami juga menyadari bahwa sebagai bagian dari masalah, pengusaha juga harus menyediakan solusi salah satunya, Eco-brix. Menurut saya, Eco-brix lebih kepada peningkatan pola pikir kita terhadap plastik yang kita hasilkan dan ini lebih pada kesadaran tiap individu. Eco-brix adalah kegiatan memasukkan sampah plastik ke dalam botol air mineral sehingga dalam hal ini peredaran sampah plastik dihentikan di tempat kita dan tangan kita sebelum sampah plastik mencemari dalam bentuk microplastic di laut. Sebagai pihak pengusaha, saya aktif dalam mensosialisasikan solusi ini dan saya mendorong komunitas dan akademisi untuk membantu menyebarkan pesan positif ini”tegas Harjanto. (Cal)