Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Unika Soegijapranata, pada Rabu (17/3) lalu, telah menyelenggarakan Webinar Nasional dengan tema “Politik Hukum Indonesia terkait Pelarangan Senjata Nuklir”.
Dalam webinar nasional ini menghadirkan para narasumber yang berkompeten di bidangnya, antara lain adalah (1) Adhiningtyas S. Djatmiko SH LL.M, (ICRC) Judul: ‘Kontribusi ICRC dalam Promosi Pelarangan Senjata Nuklir’, (2) Dr Trihoni Nalesti Dewi SH M.Hum (Dosen FHK – Unika Soegijapranata) Judul: ‘Pelarangan Senjata Nuklir dari Perspektif Hukum Humaniter’, (3) Drs Muhadi MA (Dosen FISIP – HI UGM): Judul: ‘Diplomasi Masyarakat Madani Indonesia terkait Pelarangan Senjata Nuklir’,(4) Rolliansyah Soemirat (Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri) Judul: ‘Rencana Indonesia dalam Ratifikasi TPNW’, (5) Kolonel KH Wens Kapo (Kabid Hukum Interham, Babinkum TNI) Judul: ‘Komitmen TNI dalam Pelarangan Senjata Nuklir’
Dekan FHK Unika Soegijapranata, Dr Marcella Elwina Simandjuntak SH CN MHum dalam sambutannya menyampaikan perlunya kita mengetahui ke arah mana politik hukum kita terkait pelarangan senjata nuklir.
“Hari ini kita akan melihat ke arah angin mana negara Indonesia akan memposisikan diri. Karena di webinar ini kita membicarakan politik hukum dan pelarangan senjata nuklir di Indonesia,” paparnya.
Di acara webinar ini, masing-masing narasumber akan memberikan perspektifnya terkait pelarangan senjata nuklir. Dan mudah-mudahan dalam webinar akan memberikan tambahan pengetahuan tentang pro dan kontra penggunaan senjata nuklir ini di dunia, lanjutnya.
Kemudian dalam sesi awal webinar, salah satu narasumber yaitu Rolliansyah Soemirat selaku Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri, dengan judul topiknya ‘Rencana Indonesia dalam Ratifikasi TPNW’, mencoba menggugah peserta webinar untuk mencermati alasan Indonesia memberi perhatian khusus dalam hal pelarangan senjata nuklir dan prospek ratifikasi TPNW (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons).
“ Jika kita berbicara sebagai bangsa dan negara, sudah jelas kita berbicara sebagai bangsa dan negara yang diatur oleh undang-undang yang berlaku, dalam hal ini dalam pembukaan UUD 1945 jelas sekali menyatakan bahwa kita diharapkan turut serta menjaga ketertiban dunia, dengan pengejawantahan kebijakan pemerintah yang beragam, sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 tersebut,” ulasnya.
Maka kita harus menyamakan framework, bahwa kita perlu aktif dalam membahas isu-isu seperti yang menjadi tema dalam webinar ini. Hal tersebut karena senjata nuklir adalah salah satu senjata pemusnah massal yang sudah jelas-jelas mengancam perdamaian dunia, meskipun nuklir bisa juga digunakan untuk yang bisa bermanfaat bagi manusia namun jika sudah dipergunakan dalam persenjataan sudah bisa dipastikan lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya.
Perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT) memiliki tiga pilar, yaitu masalah pelucutan senjata, non-proliferasi senjata nuklir dan penggunaan energi nuklir. Sementara Indonesia sebagai anggota NPT menekankan posisinya selalu konsisten dalam implementasi NPT tiga pilar ini, lanjutnya.
Oleh karena itu kita sedang terus menggulirkan isu-isu ratifikasi TPNW (Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir) pada pemerintah maupun di parlemen agar Indonesia kedepannya memiliki peran yang maksimal dalam perjanjian TPNW ini yaitu melarang penggunaan nuklir, ancaman penggunaan nuklir, pengembangan, produksi, percobaan, dan penumpukannya. Dengan menyediakan jalur untuk penghapusan senjata nuklir, TPNW adalah dasar yang sangat dibutuhkan untuk menuju dunia yang bebas senjata nuklir, tegasnya.
Perspektif Hukum Humaniter
Sedang Dr Trihoni Nalesti Dewi SH M.Hum yang juga dosen FHK Unika, dalam paparannya tentang ‘Pelarangan Senjata Nuklir dari Perspektif Hukum Humaniter’, menyatakan bahwa penggunaan senjata nuklir dalam perang, telah melanggar prinsip dasar hukum humaniter yaitu (1) prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) di satu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil), termasuk didalamnya adalah obyek sipil dan obyek militer.
(2) Prinsip Proportinality, prinsip yang melindungi warga sipil dan obyek sipil dari dampak ikutan serangan (collateral damage). (3) Prinsip Limitation (pembatasan), yaitu senjata dan metode peperangan yang digunakan adalah terbatas dan pelarangan penggunaan senjata yang menyebabkan penderitaan berlebihan dan tidak perlu (unnecessary suffering). (4) Prinsip Precautionary (Prinsip Kehati-hatian), artinya semua tindakan dan metode pencegahan yang layak harus diambil untuk menghindari dan meminimalkan hilangnya nyawa dan luka-luka pada warga sipil secara tidak sengaja dan kerusakan pada benda-benda sipil.
“Keempat prinsip tadi (distinction principle, Proportinality, Limitation, dan Precautionary) tidak ada atau tidak dimiliki oleh karakter senjata nuklir, dan penggunaan senjata ini akan menyebabkan kerugian yang sedemikian besar pada kemanusiaan,” jelas Dr Trihoni.
Oleh karena itu, senjata nuklir tidak akan selaras dengan prinsip-prinsip humaniter. Maka berdasar landasan filosofis, sosiologis dan yuridis, bukan menjadi suatu keraguan lagi bagi negara Indonesia untuk mengambil sikap melakukan pelarangan senjata nuklir ini dalam ius constituendumnya, pungkasnya.
Sedang narasumber lainnya, Kolonel KH Wens Kapo (Kabid Hukum Interham, Babinkum TNI) dengan judul paparannya tentang ‘Komitmen TNI dalam Pelarangan Senjata Nuklir’ menyatakan bahwa senjata nuklir bukan menjadi pilihan bagi TNI.
“Segala hal dalam pengadaan alutsista, TNI selalu mempertimbangkan senjata-senjata konvensional yang manusiawi, dan bukan dalam arti yang pemusnah massal. Penggunaan teknologi nuklir hanya semata-mata untuk maksud damai. Dan TNI akan selalu mendukung pemerintah dalam setiap upaya pembatasan, pelarangan dan penghapusan senjata nuklir, serta mendorong pemerintah untuk meratifikasi TPNW,” paparnya.
Dan pembicara berikutnya yang menyoroti tentang ‘Diplomasi Masyarakat Madani Indonesia terkait Pelarangan Senjata Nuklir’ yang disampaikan oleh Drs Muhadi MA, menyatakan bahwa dalam mengubah senjata nuklir sebagai sebuah ancaman, maka ada suatu kerjasama yang sangat bagus antara masyarakat sipil, akademisi serta perwakilan negara.
“Peran masyarakat sipil ada tiga hal yaitu advokasi dan diplomasi, kemudian melakukan kajian-kajian untuk menyuplai informasi kepada perwakilan negara di dalam perundingan-perundingan multilateral, dan yang terakhir adalah public outreach,” tandasnya.
Sedang narasumber dari ICRC dengan topik ‘Kontribusi ICRC dalam Promosi Pelarangan Senjata Nuklir’, Adhiningtyas S. Djatmiko SH LL.M menyatukan semua isu nuklir sebagai hal-hal yang harus sering disampaikan karena causa kemanusiaannya yang terlalu besar.
Dan dalam paparannya, Adhiningtyas menyampaikan dua hal dari ICRC yaitu tentang terkait posisi ICRC terhadap senjata nuklir, dan jenis dukungan dari ICRC. (FAS)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi