The Java Institute (TJI) sebagai salah satu pusat studi dalam naungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Soegijapranata pada hari Jumat (23/4) telah menyelenggarakan kegiatan Serial Diskusi ke-2 dengan tema “Pengenalan Minuman Herbal Boba”, yang diselenggarakan secara daring melalui ruang virtual Unika.
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut Dr Laksmi Hartajanie dari Fakultas Teknologi Pertanian Unika Soegijapranata, Dr Widuri Kurniasari dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Maya Putri Utami SSn MSn dari Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata, dan Dr Ekawati Marhaenny Dukut selaku Ketua Pusat Studi TJI sekaligus salah satu narasumber dalam acara ini dari Fakultas Bahasa dan Seni Unika Soegijapranata.
Dalam pengantar sambutannya, Dr Ekawati selaku Ketua Pusat Studi TJI menyampaikan perihal kegiatan diskusi serial yang kali ini membahas minuman Boba.
“Dalam Pusat Studi TJI ini, kami mengadakan penelitian dan pengabdian masyarakat yang sifatnya dapat memperkaya pulau Jawa. Minuman Boba adalah salah satu minuman yang datang dari negara asing tapi ternyata secara tidak terduga menjadi minuman yang populer di tanah Jawa. Oleh karena itu kami mengambil minuman Boba ini sebagai produk yang bisa didiskusikan di dalam forum diskusi TJI,” papar Dr Ekawati.
Harapan saya, dengan forum diskusi serial ini, para mahasiswa dapat pula terinspirasi untuk berkolaborasi dengan para dosen dalam penelitian dan pengabdian yang diwadahi dalam TJI. Pengalaman kerjasama dengan dosen atau mahasiswa dari ilmu lain ini untuk kegiatan PKM mereka, lanjutnya.
Memulai diskusi serial TJI kali ini, Dr Laksmi Hartajanie dalam paparan materinya menjelaskan perihal asal minuman boba dan cara pembuatannya.
“Minuman boba itu sebenarnya berasal dari Taiwan. Di Indonesia lebih dikenal dengan bubble tea, dan biasanya diminum bersama teh, juice atau dengan minuman lain. Jenisnya pun beragam, ada yang Boba, Bubble Tea dan Pearl,” kata Dr Laksmi.
Boba bentuknya adalah seperti bola yang bahannya dibuat dari tepung tapioka, dan warnanya bisa macam-macam. Berbeda dengan bubble tea yang bahannya dari teh hitam yang diseduh dan ditambahkan tepung tapioka dan dibentuk bulat-bulat seperti boba, warnanya biasanya hitam seperti warna tehnya. Sedangkan untuk pearl, bentuknya lebih kecil dari boba.
Minuman boba ini bisa juga dengan dicampur dengan herbal seperti beras kencur atau kunir asam atau teh rosela, sehingga karena bahan-bahannya mudah didapat dan relatif murah, sebenarnya minuman boba ini tidak mahal, tetapi menjadi mahal karena pengaruh tempat atau stand yang biasanya dipakai untuk menjualnya, jelasnya.
Berikutnya dari narasumber Dr Ekawati Marhaenny Dukut, boba dibahas dari sudut produk budaya hibrida generasi Z dan A.
Menurut yang disampaikannya, generasi manusia dibagi menjadi lima kategori yang meliputi generasi traditionalists yang lahir antara tahun 1900 -1945, generasi boomers yang lahir antara tahun 1946 -1964, generasi gen X yang lahir antara 1965 – 1976, generasi millennial yang lahir antara tahun 1977 – 1997, gen 2020 yang lahir sesudah tahun 1997.
Diperjelaskannya pula bahwa dalam suatu situs, generasi manusia dibagi dalam tiga kategori yaitu generasi Y yaitu yang lahir antar tahun 1980 – 1994 dengan karakteristiknya antara lain kepercayaan diri yang tinggi, orientasi pada kesuksesan dan haus akan perhatian. Sedang generasi Z yang lahir antara tahun 1995 – 2009 memiliki karakteristik antara lain orientasi pada target, menghargai keberagaman dan suka berbagi. Sementara generasi Alpha yang terlahir sejak tahun 2010 merupakan generasi terdidik dan paling bergantung pada teknologi serta paling sejahtera.
“Boba bisa menjadi terkenal di Indonesia tidak lain karena peran internet melalui media sosial, bahkan bisa menjadi global karena menggunakan budaya hibrida, yaitu menghibridkan budaya asing dengan budaya lokal,” jelas Dr Eka.
Selanjutnya, dari sisi budaya populer, suatu produk dapat dilihat dengan teori 3 H yaitu Homogenitas, Heterogenitas dan Hibriditas. Melalui teori 3 H ini suatu penelitian terhadap suatu produk dapat dilihat dari berbagai latar belakang ilmu, baik ekonomi, sosial, psikologi, budaya, kesehatan dan berbagai disiplin ilmu lainnya, tandasnya.
Sementara itu, Maya Putri Utami SSn MSn, yang membahas boba dari sisi desain kemasan cantik, menyampaikan bahwa tingginya harga boba bisa karena tingginya biaya grafis.
“Desain grafis bisa membuat boba menjadi mahal antara lain karena kita harus bisa meyakinkan konsumen bahwa produk yang kita jual adalah produk yang berkualitas, salah satunya adalah dari kemasan produknya dan nama merek yang kekinian,” paparnya.
Sedang Dr Widuri Kurniasari, melihat peluang boba untuk diterima dengan baik di Indonesia yang memiliki iklim tropis.
“Kecenderungan kita yang di iklim tropis yang hangat, akan lebih senang dengan minuman yang manis dan segar. Oleh karena itu, boba ini menjadi peluang minuman yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Dan tidak hanya itu saja, tetapi ada juga pertimbangan lain yang harus dipikirkan, terutama untuk suatu produk terkait peluang usaha, yakni yang pertama menemukan rasa yang berbeda sesuai dengan kultur setempat, produk berkualitas, branch strategy dan higienis produknya, tutupnya. (FAS)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi