Dalam rangka syukuran keberhasilan program studi Ilmu Hukum meraih akreditasi A sebanyak tiga kali berturut-turut sejak didirikan pada 1982, Fakultas Hukum dan Komunika mengadakan sebuah diskusi dalam rangkaian acaranya pada tanggal 26 Maret 2015.
Karut marut dunia hukum Indonesia tidak terlepas dari proses dpendidikan hukum itu sendiri. Kenyataan bahwa kurikulum hukum lebih menitik beratkan pada terciptanya tukang dan operator hukum yang siap kerja mengenai nilai – nilai keadilan dan kemanusiaan.
Kritik keras terhadap dunia pendidikan tersebut dilontarkan oleh Benny Danang Setianto, Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Komunikasi (FHK) Universitas Katolik Soegijapranta dalam diskusi bertajuk “Pendidikan Hukum di Tengah Karut Marut Penegakan Hukum di Indonesia”.
“Seringkali atas nama memperbaiki lulusan sarjana yang siap pakai, pendidikan tinggi hukum kemudian memberikan materi-materi yang sesegera mungkin bisa digunakan ketika lulus dan kemudian langsung bekerja. Proses memaknai atau menafsirkan kata-kata dalam UU dan peraturan lainnya lebih disandarkan kepada kepentingan sesaat yang berkembang pada saat itu,” ujarnya.
Kondisi itu, lanjutnya, diperparah dengan mulai ditiadakannya atau dikuranginya mata kuliah ilmu sosial dasar seperti filsafat, sosiologi dan antropologi. Ilmu yang sebenarnya memperkaya pola pikir orang – orang mengenai hukum dan memberikan alternatif pola pemikiran dalam memahami, membuat dan mengkritisi hukum.
Dalam kesempatan yang sama, W. Riawan Tjandra pengamat Hukum Universitas Atma Jaya Jogjakarta (UAJY) menyatakan dunia pendidikan hukum yang didominasi cara berpikir dogmatis dan konservatif lebih sering dianggap tak mampu berbuat banyak menghadapi fenomena instrumentalisasi hukum yang distimulasi oleh rasio instrumental aparatus hukum.
“Hukum yang seharusnya menjadi sarana pencerahan dalam persilangan kepentingan multipolar dan politik transaksional telah bermetamorfosa menjadi sarana legitimasi kepentingan aktor dan institusi yang sering menyebabkannya tercabut dari esensinya sebagai sarana keadilan,” tutur staf ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Senada dengan hal tersebut, Staf Penindakan KPK, Ariawan Agustiartono menuturkan dalam dunia pendidikan ilmu hukum masih mendidik mahasiswa menjadi orang-orang yang sekadar paham hukum positif tetapi kurang mempersiapkan mereka sebagai seorang mahasiswa yang memahami prinsip- prinsip hukum.
“Sehingga mahasiswa terjebak pada pedebatan hukum positif dengan melupakan prinsip dasar hukum itu sendiri. Sebagai contoh dalam sejumlah kasus, kadang ketentuan perundang-undangan kurang memadai karena terdapat delik-delik yang belum diatur secara tegas. Sehingga dalam prakteknya penegak hukum akan berakrobat mencari ketentuan hukum yang bisa dapat dipergunakan,” ujar alumni FHK Unika Soegijapranata tahun 1997. (Molly)