ADA berita gembira bagi pimpinan dan pemegang saham PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) serta pemerintah Jepang dan warga Batang yang pendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Berita itu, pertama; pernyataan Menko Perekonomian Sofyan Djalil bahwa pemerintah akan membangun PLTU Batang mulai Maret 2015.
Kedua; pemerintah berupaya membebaskan 19 hektare lahan yang belum mau dilepas warga melalui skema konsinyasi di Pengadilan Negeri seperti diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. (SM, 3/2/15). Dalam tiga tahun terakhir, para pihak itu mendesak pemerintah pusat mengambil alih penyelesaian permasalahan tersebut.
Sebaliknya, bagi warga yang tanahnya terkena proyek dan mereka yang masih menolak kehadiran PLTU, pernyataan Menko tersebut merupakan berita buruk yang perlu disikapi secara cerdas. Beberapa pihak memperkirakan warga yang kontra itu akan melakukan konsolidaasi internal dan eksternal sebagai bentuk perlawanan hukum.
Bahkan bisa menjurus perlawanan fisik bila pemerintah dan perusahaan melakukan upaya paksa dalam membebaskan tanah warga. Eskalasi konflik antara warga penentang PLTU dan BPI berserta pemerintah dikhawatirkan makin tinggi setelah Menko mengeluarkan pernyataan tersebut.
Sebenarnya tak perlu terjadi keberlarut-larutan penyelesaian masalah itu. Penulis pernah menjadi anggota tim pakar independen penilai amdal PLTU Batang dan beberapa kali bertemu sejumlah tokoh masyarakat Batang. Kata kuncinya adalah investor dan pemerintah sejak awal berniat melakukan pendekatan secara kekeluargaan dan mengakomodasi aspirasi warga.
Warga yang terkena dampak menyatakan kecewa terhadap BPI yang dianggapnya arogan. Mereka menganggap investor menyepelekan dan kurang ramah karena memperlakukan warga di sekitar lokasi proyek sebagai objek ekonomi semata. Selain itu, ada pengabaian nilai-nilai sosial, kultural, dan religiositas masyarakat.
Menurut penilaian warga, perusahaan masih menggunakan cara-cara yang kurang etis semisal mengadu-domba, menakut-nakuti, dan tidak transparan menentukan garga ganti rugi harga tanah. Hal ini memunculkan rasa saling curiga dan konflik antarwarga. Padahal, sebelum ada rencana pembangunan PLTU, kehidupan antarwarga rukun dan damai. Selain itu, warga menilai ganti rugi yang ditawarkan investor terlalu rendah, tidak adil, dan tidak transparan. Besar ganti rugi yang didasarkan NJOP atau harga pasar, masih terlalu rendah, tidak sepadan dengan pengorbanan dan kerugian ang ditanggung warga selama PLTU itu beroperasi.
Warga menilai BPI berlaku tidak adil dan tidak transparan dalam menawar dan menentukan harga beli tanah warga. Nilai yang ditawarkan kepada pemilik tanah bisa berbeda-beda. Makin lama warga mempertahankan tanahnya maka makin tinggi pula tawaran harga beli dari BPI, dan sebaliknya.
Warga yang kontra menganggap BPI tidak bersungguh-sungguh menindaklanjuti sejumlah rekomendasi rencana kegiatan lingkungan (RKL) di dokumen amdal. Padahal dokumen itu telah disepakati tim penyusun, BPI, tim pakar penilai amdal, bahkan sudah disetujui Gubernur Jateng pada 22 Agustus 2013. BPI juga tidak sepenuh hati menjalankan program CSR yang direkomendasikan dalam dokumen amdal.
Solusi Konflik
Mencermati resistensi warga, penulis khawatir keputusan pemerintah pusat membebaskan paksa 19 hektare tanah warga dengan skema konsinyasi lewat pengadilan bisa memicu konflik sosial lebih serius. Justru pemerintah harus menghindari cara itu mengingat berisiko besar, baik bagi warga maupun bagi pemerintah dan BPI.
Kesediaan masayarakt Batang menerima kehadiran BPI dan PLTU sebenarnya masih terbuka lebar. Begitu pula sejumlah pemilik lahan masih mau melepaskan tanah miliknya demi kepentingan proyek penyediaan energi itu. Syaratnya, investor dan pemerintah bisa menyelesaikan sejumlah permasalahan secara bijak lewat cara-cara kekeluargaan.
Penulis berharap Menko Perekonomian, Gubernur Ganjar Pranowo dan pimpinan BPI perlu kembali berembuk atau bermusyawarah dengan pemilik lahan dan pihak terkait guna merumuskan solusi pembebasan lahan. Investor juga perlu membenahi komitmen dan perilakunya dalam membangun relasi dengan masyarakat sekitar.
Kelayakan harga jual (beli) tanah warga perlu mendapat perhatian dari pemerintah agar masyarakat tidak merasa dirugikan sehingga terus melakukan perlawanan. Meskipun kehadiran PLTU Batang sangat strategis bagi pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional, jangan sampai proyek itu merugikan atau menyengsarakan warga setempat.
Kehadiran BPI dan PLTU sebagai institusi ekonomi/bisnis haruslah didesain dalam kerangka membawa berkah, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi warga. Konstruksi pemikiran itulah yang sebaiknya jadi pijakan baru bagi pemerintah dan BPI serta beberapa pihak terkait dalam merumuskan solusi penyelesaian masalah PLTU Batang. (10)
— Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Kepala LPPM Unika Soegijapranata Semarang