Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, dan Ketua Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.
RABU, 2 Maret 2022 lalu, dalam penanggalan liturgi tradisi Gereja Katolik disebut Rabu Abu. Pada saat itulah, umat Katolik di seluruh dunia memulai masa Prapaskah. Masa Prapaskah berlangsung selama empat puluh hari ke depan, hingga tanggal 15 April 2022, bertepatan dengan kenangan akan wafat Isa Almasih (= Yesus Kristus). Selama masa tersebut, umat Katolik menjalani masa puasa dan pantang, kecuali pada hari Minggu dalam rentang masa itu tidak diperhitungkan sebagai hari puasa dan pantang.
Dalam konteks global, Paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk mengintensikan hari pertama puasa dan pantang, 2 Maret 2022, sebagai doa khusus bagi perdamaian dunia, terutama bagi Ukraina dan Rusia. Kedua negara ini sedang terlibat perang. Rusia menginvasi Ukraina. Semoga perang dapat dihentikan. Para pemimpin_politik disadarkan bahwa perang hanya menyisakan luka kemanusiaan, mencederai perdamaian, dan merusak kehidupan.
Dalam konteks lokal, terutama bagi umat Katolik di Indonesia, khususnya di Keuskupan Agung Semarang, aktivitas selama masa puasa dan pantang dirangkum dalam tema, “Tinggal dalam Kristus, Berbelarasa dan Berpengharapan.” Tema tersebut sekaligus merupakan tema Aksi Puasa Pembangunan (APP). Pertama-tama, bela rasa ditempatkan dalam konteks pandemi yang masih melanda dunia dan negeri kita. Pandemi Covid-19 belum berakhir. Mgr Robertus Rubiyatmoko, sebagai Uskup Keuskupan Agung Semarang menulis dalam Surat Gembalanya, “Dalam situasi ini, banyak sekali umat dan warga masyarakat kita yang masih mengalami kesulitan dalam beberapa segi kehidupannya. Maka kita diajak berbelarasa pada mereka yang berkesusahan dengan terus membangun pengharapan di tengah situasi yang tidak mudah ini” (Surat Gembala Prapaskah/SGP 2022, h. 1).
Selanjutnya, semangat dan praksis bela rasa harus menjadi gerak dan semangat pertobatan yang hendak diwujudkan selama masa Prapaskah, entah itu secara pribadi ataupun bersama. Secara khusus, Uskup yang juga seorang Ahli Hukum Gereja Katolik menghubungkan semangat dan praksis bela rasa dengan cara kita berbahasa dan bertutur kata. Dikatakan, bela rasa “merupakan salah satu kewajiban sosial untuk menggunakan bahasa dan kata-kata yang menyemangati dan meneguhkan sesama. Berbahasa yang baik pada masa-masa seperti ini menjadi tanda bela rasa kita dan upaya membangkitkan harapan dalam diri sesama yang sedang menghadapi kesulitan hidup. Lebih dari sekadar berbahasa secara baik, kita juga diundang mengusahakan kesesuaian antara kata dan perbuatan, keselarasan antara apa yang kita pikirkan, kita ucapkan, dan kita lakukan” (SGP 2022, h. 2).
Dalam perspektif iman Kristiani, berbahasa baik sebagai bentuk bela rasa adalah buah dari “tinggal dalam Kristus” yang merupakan bagian pertama dari tema Arah Dasar (ARDAS) VIII 2021-2025. Setiap umat Katolik dipanggil bahkan dituntut untuk “tinggal dalam Kristus dan berbuah.” Hanya dengan tinggal dalam Kristus, kita dapat menghasilkan buah kebaikan, kebenaran, kedamaian, keramahan, dan kesopanan dalam hidup. Dengan cara sederhana itu, siapa pun dapat menghasilkan buah yang baik dalam kehidupan bersama.
Buah kebaikan ini antara lain terwujud dalam sikap dan tutur kata, karya dan pelayanan, serta kesiapsediaan untuk berderma dan beramal kasih sebagai wujud bela rasa. Berbelarasa terwujud dalam ulah dan laku bermatiraga, berpantang, berpuasa, dan beramal kasih kepada sesama yang membutuhkan perhatian kita. Pada masa pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini, tentu perhatian utama sikap belarasa harus ditempatkan bagi siapa saja yang berjuang mengatasi pandemi ini.
Bela rasa itu pertama-tama tertuju kepada mereka yang saat ini terpapar virus Corona apapun variannya. Mereka harus menjadi perhatian yang utama. Kecuali itu, belarasa, juga diwujudkan dengan tetap menjaga setiap protokol kesehatan yang diperlukan untuk mencegah penyebaran virus ini. Tentang hal ini, Mgr Rubi mengimbau umat Katolik, “Melalui dan dengan cara ini kita hendak menyatakan belarasa kita kepada sesama yang karena pelbagai sebab mengalami kesusahan dan kesulitan hidup, terutama yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Tujuannya agar mereka tetap mempunyai pengharapan” (SGP 2022, h. 3).
Semangat berbelarasa dan berpengharapan juga dilakukan dalam semangat sinodalitas. Artinya, kita semua diundang untuk membangun semangat berjalan bersama sebagai umat yang mengimani Tuhan Yang Maha Esa. (34)
# Suara Merdeka 5 Maret 2022 hal. 4